Friday, 29 March 2024
HomeNasional25 Tahun Reformasi: Musim Semi Reformasi Terjadi Saat Era Habibie dan Gus...

25 Tahun Reformasi: Musim Semi Reformasi Terjadi Saat Era Habibie dan Gus Dur

Bogordaily.net–  Masa reformasi sudah berjalan 25 tahun. Namun, setelah 25 tahun berlalu, Pemerhati Sejarah Arief Gunawan menilai reformasi yang dimotori oleh kalangan pro demokrasi dan para mahasiswa kini justru kandas.

Arief Gunawan dalam artikel bertajuk Musim Semi Reformasi Terjadi Saat Pemerintahan Habibie dan Gus Dur menuliskan pada zaman pergerakan, para pemuda berjuang untuk kemerdekaan terbagi dalam tiga golongan.

Mereka adalah pemuda militan, pemuda radikal, dan pemuda revolusioner. Ketiga kelompok ini berjuang dengan totalitas, inisiatif, fokus, dan setia pada garis perjuangan.

Oleh karena itu menurut Arief, setelah kemerdekaan ketika sebagian dari mereka masuk ke dalam kekuasaan, yaitu pemerintahan Republik yang baru terbentuk, dengan menjadi pejabat misalnya, umumnya mereka tetap konsisten dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan.

“Jabatan mereka jadikan alat perjuangan untuk mengubah kondisi bangsa dan negara agar menjadi lebih baik. Sehingga umumnya mereka ialah person of character (insan yang berwatak) yang tidak dirusak oleh financial capital yang menyuburkan korupsi, kolusi, dan nepotisme, seperti sekarang,” paparnya.

Umumnya kata Arief, mereka juga berpandangan maju (enlightened) dan mampu membaca jiwa bangsa dengan tidak berpura-pura merakyat. Mereka menjadikan kepemimpinan sebagai pengabdian, yang dengan sadar menempuh Via Dolorosa, yang dalam ungkapan Belanda dikatakan “Leiden is Lijden”, memimpin adalah menderita.

Baca Juga: Rizal Ramli Soal Perubahan: Bisa Dilakukan di Luar, Apalagi dalam Sistem 

Lalu kenapa reformasi yang dimaksudkan untuk membawa Indonesia ke arah perubahan yang lebih baik dan demokratis kandas dan malah menyeret negeri ini ke dalam berbagai kehancuran?

“Tokoh nasional Dr yang juga merupakan tokoh pergerakan mahasiswa 1978, menjelaskan secara sederhana. Menurutnya, musim semi demokrasi setelah kejatuhan Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun sebenarnya sempat terjadi saat era pemerintahan Habibie dan Gus Dur (1998-2001),” tulis Arief Gunawan dalam artikel di laman Kedaipena.com.

Indikatornya antara lain saat itu diberlakukan kebebasan terhadap pers yang sebelumnya dibelenggu oleh Soeharto. Kemudian anggota DPR berani bersikap  serta diberlakukan pula kebijakan desentralisasi. Dampaknya kondisi perekonomian nasional dapat pulih dari minus 13 persen menjadi plus 4 persen dengan gini index ratio terendah.

“Dalam waktu empat tahun (1998-2001) itulah terjadi masa atau honeymoon demokrasi di negeri ini,” kata .

Musim semi demokrasi ini, kemudian berlanjut memasuki fase stabilisasi demokrasi pada saat pemerintahan Megawati dan kemudian SBY dengan segala macam pasang surutnya.

Pada fase ini misalnya terjadi upaya penguatan terhadap lembaga penegakan hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Era musim semi demokrasi dan fase stabilisasi demokrasi yang mulai tumbuh ini hancur dengan munculnya rezim baru hasil Pilpres 2014, yang bercampur dengan menguatnya kepentingan oligarki.

“Boleh dibilang sejak Indonesia merdeka belum pernah oligarki sangat berkuasa seperti di era sekarang. Hal ini tidak terjadi pada masa Presiden Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, dan Megawati,” jelasnya.

“Sejak era Jokowi, mulai tahun 2014, terjadi pembalikan terhadap reformasi atau terjadi proses deformasi,” imbuh .

Deformasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan perubahan bentuk atau perubahan wujud dari yang baik menjadi tidak baik.

Pada era deformasi seperti saat ini, menurut , demokrasi di negeri ini mengalami kemerosotan drastis. Undang-undang ITE dijadikan alat untuk menangkap pihak-pihak yang berbeda pendapat.

Tak hanya itu KPK dilemahkan, praktik KKN semakin vulgar, ganas, dan masif serta dipertontonkan.

Selain itu di sisi lain perekonomian nasional lebih banyak mengutamakan kepentingan oligarki dan jumlah orang miskin kini mencapai 40 persen.

Bahkan kata yang juga ekonom senior itu, KUHP diubah menjadi otoriter, hingga mengutang secara ugal-ugalan.

“Jokowi juga membangun dinasti bisnis dan dinasti politik. Menjinakkan DPR dengan cara mengkooptasi para ketua umum partai. Sehingga fungsi pengawasan DPR lumpuh. Sedangkan Ketua MK yang dijabat ipar Jokowi berubah jadi Mahkamah Keluarga,” papar .

Intinya, kata mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri itu, di era pemerintahan saat ini pelanggaran etika hukum dan conflict of interest sangat kuat. BuzzersRp digunakan untuk menyerang pribadi yang bersikap kritis. Sedangkan SurveyRp atau Sure-pay dipakainya untuk merusak demokrasi.

“Deformasi dan demokrasi ala Sure-Pay semakin menjauhkan Indonesia dari cita-cita kemerdekaan. Ibarat handphone yang terus error, pilihannya hanya total reset atau ganti handphone,” jelas .

Ia kemudian menggambarkan kekuasaan rezim hari ini sudah seperti matahari yang mau tenggelam dan diliputi kegelapan.

Menurutnya, Indonesia kini membutuhkan matahari baru. Yakni sistem seleksi kepemimpinan nasional yang benar-benar kompetitif dan amanah. Bukan berbasis pada pencitraan.(Gibran/***)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here