Wednesday, 8 May 2024
HomeNasionalIngatkan Kasus HAM Masa Lalu, Mantan Aktivis PRD Kecam Politisi yang Lupa...

Ingatkan Kasus HAM Masa Lalu, Mantan Aktivis PRD Kecam Politisi yang Lupa Sejarah

Bogordaily.net–  Mantan PRD mengecam politisi yang lupa sejarah. Puluhan mantan PRD tersebut juga menggelar acara tabur bunga untuk mengingat peristiwa serangan terhadap kebebasan berpolitik dan berekspresi yang terjadi 27 tahun lalu. Selain itu sebagai penghormatan terhadap para pro demokrasi yang belum kembali hingga hari ini.

Puluhan mantan Partai Rakyat Demokratik (PRD) tergabung dalam Forum Rakyat Demokratik (FRD) untuk Keadilan Korban Penghilangan Paksa mengingatkan kasus penyelesaian HAM masa lalu. Mereka pun mengecam para politisi yang lupa sejarah.

Tuntutan penuntasan kasus penghilangan paksa dan pelanggaran HAM berat masa lalu dinyatakan bertepatan dengan peringatan peristiwa 27 Juli 1996 atau yang dikenal dengan “Kuda Tuli”.

Sekjen PRD periode 1996 – 2002 Petrus H. Hariyanto mengatakan ini adalah upaya pihaknya melawan lupa. Di tahun politik, pihaknya tidak ingin orang melupakan kasus orang hilang dan semua pelanggaran HAM masa lalu hanya karena kepentingan-kepentingan politik pragmatis  jangka pendek.

Mantan Aktivis PRD

“Semua pelaku kejahatan HAM seharusnya tidak dipilih dan didukung untuk duduk dalam legislatif atau eksekutif, karena akan menciderai reformasi dan keluarga korban,” ujar Petrus dalam konferensi pers yang digelar di kantor YLBHI, Kamis 27 Juli 2023.

Petrus menyatakan penyelesaian kasus pelanggaran HAM di masa lalu menjadi syarat pembangunan persatuan bangsa.

“Tanpa penyelesaian kasus Ham masa lalu, maka tidak ada persatuan yg substansial. Karena itu, nasionalisme yang kami majukan adalah nasionalisme kemanusiaan seperti yang dinarasikan oleh Sukarno,” sambungnya.

Di kantor YLBHI terseut, 27 tahun lalu, pada 22 Juli 1996 Petrus mendeklarasikan berdirinya PRD bersama Budiman Sudjatmiko dan sejumlah kader PRD lainnya.

Pasca deklarasi PRD dan setelah meledaknya peristiwa 27 Juli 1996, para PRD—termasuk para anggota dari organisasi di bawahnya seperti Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI).

Lalu Serikat Tani Nasional (STN), Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). Dan juga Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (Jaker), serta sejumlah demokratik lainnya, menjadi buronan politik.

Beberapa dipenjara, dan sebagian lainnya kemudian hilang pada era 1997/1998. Para yang hilang ini sebagian kembali, satu orang ditemukan meninggal, dan sebagian belum kembali hingga hari ini.

“Masa lalu kami yang direpresi dan dituduh komunis pasca 27 Juli 1996 adalah fakta sejarah, bukan fiksi. Masa lalu yang penuh darah, air mata dan pengorbanan ini yang harus diingat. Jangan diabaikan, apalagi dilupakan,” kata Lilik HS, mantan SMID yang juga pengurus KPP PRD 1999.

Para mantan yang jadi figur di berbagai partai politik saat ini menurut Lilik lahir dari pengorbanan kawan-kawannya.

“Seharusnya mereka tidak lupa itu,” tegasnya.

Aktivis Hilang

Sementara itu menurut catatan Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), ada 13 orang yang belum kembali hingga hari ini. Empat di antaranya adalah para aktivis PRD, yakni Wiji Thukul, Bima Petrus, Herman Hendrawan, dan Suyat. Sedangkan Gilang ditemukan meninggal di hutan di Magetan pada 23 Mei 1998.

Pada sejumlah kesempatan, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dan IKOHI menilai, pemerintah masih mengabaikan hak-hak keluarga korban penghilangan paksa. Hal ini terutama terkait dengan kejelasan nasib anggota keluarga yang hilang.

Pada Oktober 2009, DPR telah membuat empat rekomendasi untuk Presiden RI terkait penyelesaian kasus penghilangan paksa 1997-1998. Pertama, merekomendasikan Presiden RI membentuk pengadilan HAM ad hoc.

Kedua, merekomendasikan Presiden RI serta institusi pemerintah dan pihak terkait untuk mencari 13 aktivis yang masih hilang. Ketiga, merekomendasikan pemerintah merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban yang hilang.

Keempat, merekomendasikan pemerintah meratifikasi konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktik penghilangan paksa di Indonesia.

Perkembangan terkini, kasus penghilangan paksa 1997/1998 telah mendapatkan pengakuan dari Presiden Republik Indonesia pada 11 Januari 2023. Hal itu didasari atas rekomendasi Tim penyelesaian nonyudisial pelanggaran HAM berat (PPHAM) atas kebijakan presiden melalui Keppres No. 17/2022. Namun demikian, perjuangan keluarga korban masih panjang untuk mendapatkan hak-haknya sesuai dengan rekomendasi DPR RI 2009 tersebut.

Sekjen IKOHI Zaenal Mutaqien mengatakan para keluarga korban orang hilang dan korban HAM lainya meskipun menerima reparasi, tapi tetap  menuntut penyelesian yudisial oleh negara.

“Jadi tidak benar keluarga korban HAM tidak menghendaki penyelesian yudisial. Dan penyelesaian yudisial akan sulit dilakukan bila negeri ini akan dipimpin oleh pelaku kejahatan  HAM masa lalu,” ujar Zaenal.

FRD untuk Korban Penghilangan Paksa berharap bahwa tahun politik dan keriuhan jelang Pemilu 2024 tidak membuat publik kemudian melupakan desakan atas tindak lanjut rekomendasi ini.

Bom Waktu

Masih pada kesempatan yang sama, Wilson pengurus PPBI periode 1994-1996 mengatakan, setelah 25 tahun reformasi, proses pemilu masih saja dimanfaatkan oleh oligarki politik warisan Rezim Orde Baru dan pelanggar HAM untuk berkuasa kembali.

Merujuk pada sejumlah riset, ia menyebut demokrasi di Indonesia telah dibajak dan mengalami regresi.

Penampakan regresi demokrasi terlihat jelas ketika DPR dan Presiden kompak memangkas wewenang KPK dan penggunaan UU ITE yang meneror kebebasan berpendapat.

“Salah satu indikator pembajakan dan regresi demokrasi adalah keberadaan orang-orang yang pernah terlibat kejahatan HAM masa lalu dalam proses politik formal hari ini. Regresi tersebut semakin diakselerasi jelang Pemilu 2024  oleh mantan aktivis reformasi yang mendukung pelaku pelanggaran HAM, ” katanya.

Wilson menilai para pelaku pelanggaram HAM setelah 25 tahun reformasi masih menikmati impunitas.

“Proses politik yang melibatkan pelaku kejahatan HAM ini telah menciderai keadilan para korban pelanggaran HAM,” ujarnya.

Kemudian Petrus pn menekankan bahwa masa depan Indonesia yang lebih baik bisa terwujud dengan lebih mudah jika kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu diselesaikan.

Proses politik yang tidak menyelesaikan persoalan masa lalu, kata dia akan menjadi bom waktu bagi persatuan bangsa di hari ini dan masa depan.

Terpisah, I Gusti Anom Astika, pengurus PRD periode 1996 – 2001 mengatakan berpolitik atau menjadi politisi adalah hak warga negara yang sama nilainya dengan hak memilih dan dipilih. Namun untuk itu, diperlukan etika ataupun orientasi yang bisa menjadi sandaran publik.

“Dalam hal ini, kemanusiaan lah yang kami perjuangkan. Karenanya menjadi politisi bukan lah permakluman bahwa ia boleh melakukan segala hal atas nama tujuan politik,” ujarnya.***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here