BOGORDAILY – Guna menjadikan bahasa Indonesia semakin internasional dan membantu pengajaran bahasa Indonesia di luar negeri, seperti Australia, Pemerintah Indonesia didesak untuk ikut membantunya, seperti memberikan subsidi bagi tenaga pengajar di berbagai universitas di Australia.
Hal ini dikatakan Profesor Emeritus David T Hill dari Perth yang sudah selama 20 tahun terakhir berkecimpung dalam pengajaran bahasa Indonesia di Australia.
Liam Prince, Direktur konsorsium ACICIS, sebuah lembaga nirlaba yang menyediakan kesempatan bagi mahasiswa Australia untuk belajar di Indonesia, juga mengatakan Pemerintah Indonesia paling tidak bisa memberikan bantuan dana bagi kampanye yang akan dilakukan untuk lebih menjual pengajaran bahasa di Australia.
David dan Liam berbicara dengan wartawan ABC Indonesia Sastra Wijaya menyusul rencana La Trobe University di Melbourne untuk menghentikan program bahasa Indonesia di akhir tahun 2021.
La Trobe University adalah satu dari 14 perguruan tinggi yang masih memiliki program Bahasa Indonesia.
Padahal ketika memulai pengajaran bahasa Indonesia di tahun 1989, La Trobe menjadi bagian dari 22 dari 42 universitas di Australia yang mengajarkan bahasa Indonesia.
David adalah pendiri dan Direktur ACICIS ketika didirikan tahun 1995, sebelum pensiun dari tugasnya mengajar di Universitas Western Australia (UWA) beberapa waktu lalu.
“Saya selama sudah 20 tahun berusaha mengikuti naik turun belajar mahasiswa belajar bahasa Indonesia di universitas,” kata David.
“Dari data memang kelihatan peminat cenderung turun secara drastis.”
“Tetapi yang saya lihat belakangan ancaman yang sangat besar pada beberapa jurusan bahasa Indonesia yang tersebar di universitas di beberapa negara bagian.”
“Dalam konteks ini sangat khawatir di La Trobe, jangan-jangan akan juga terjadi di universitas lain.” kata David.
Dari tahun ke tahun sudah berulang kali dibahas mengenai penyebab menurunnya minat siswa di Australia untuk belajar bahasa asing, termasuk bahasa Indonesia.
David mengatakan ada beberapa hal yang bisa dilakukan Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia untuk mengatasi masalah ini.
Secara umum, David mengatakan mereka yang berkecimpung dalam pengajaran bahasa Indonesia di Australia sudah berterima kasih kepada Pemerintah dan wakil pemerintah Indonesia yang aktif mendukung pengajaran bahasa Indonesia di Australia.
Namun dibandingkan negara lain, seperti China dan negara Eropa yang sudah memiliki lembaga untuk mengajarkan bahasa seperti Confucius Institute (China), Korean Foundation (Korea Selatan), Gothe (Jerman), Alliance Francaise (Prancis), Japan Foundation (Jepang), David mengatakan Indonesia perlu memikirkan hal seperti ini dengan lebih serius.
“Tidak dapat disangkal dibandingkan negara lain, bantuan yang mereka berikan tidak dalam bentuk dukungan moral saja, namun dalam bentuk finansial sampai jutaan dolar seperti yang dialirkan oleh Beijing lewat Confucius Institute,” katanya.
Liam Prince sekarang menjadi Direktur Konsorsium ACICIS menggantikan David dan mengatakan usaha yang akan dilakukannya sekarang adalah berkampanye di Australia guna menarik lebih banyak siswa untuk belajar bahasa asing, termasuk bahasa Indonesia, di tingkat universitas.
Salah satu alasannya adalah Pemerintah Australia baru saja meloloskan aturan yang mengubah sistem pendanaan bagi jurusan yang dipilih mahasiswa warga Australia.
Dalam aturan baru ini, uang kuliah untuk program bahasa akan lebih murah dibandingkan jurusan seni dan ilmu sosial lainnya.
“Saya sedang berkoordinasi dengan mereka yang lain yang terlibat dalam pengajaran bahasa untuk membuat kampanye menjelaskan aturan terbaru ini,” kata Liam kepada ABC Indonesia.
Senada dengan pendapat David mengenai perlunya keterlibatan Pemerintah Indonesia dalam membantu pendanaan pengajaran bahasa Indonesia di Australia, Liam juga mengatakan Pemerintah Indonesia setidaknya bisa membantu pendanaan dalam soal kampanye.
“Kalau ada pendanaan dari misalnya Pemerintah Indonesia pasti ini akan membantu usaha kami guna memberikan penjelasan kepada siswa mengenai pembelajaran bahasa ini.” kata Liam.
Berkenaan dengan rencana La Trobe University menutup program bahasa Indonesia di akhir tahun 2021, Liam mengatakan dia sudah mengirimkan surat kepada Dekan di universitas tersebut.
Menurut Liam, dengan adanya aturan baru tersebut diperkirakan jumlah siswa yang mau belajar bahasa asing, termasuk bahasa Indonesia, akan meningkat di tahun-tahun mendatang.
Menurutnya tantangan yang paling besar di Australia adalah meningkatkan jumlah mahasiswa belajar bahasa Indonesia di tingkat universitas, karena di tingkat sekolah menengah ke bawah peminatnya cukup banyak.
“Banyak siswa yang berhenti belajar bahasa Indonesia di Kelas 10, ketika mereka harus memutuskan mata pelajaran apa yang harus diambil untuk Kelas 11 dan 12 untuk syarat masuk universitas,” kata Liam.
Menurutnya, salah satu alasannya juga adalah karena dalam pandangan masyarakat umum di Australia, bahasa Indonesia dianggap tidak berbobot, bukan bahasa prestisius yang harus dipelajari.
“Padahal ketika misalnya siswa yang mendapat kesempatan memperdalam bahasa Indonesia mereka di Indonesia sebagian besar semakin suka dan sangat terkesan dengan pengalaman mereka.”
Sebuah petisi online yang meminta agar La Trobe University mempertahankan program bahasa Indonesia sejauh ini sudah mendapatkan lebih dari 2000 pendukung sampai hari Senin (23/11).