Bogordaily.net – Saat ini, banyak pasangan suami istri melakukan program bayi tabung atau in vitro fertilization (IVF).
Bayi tabung kini menjadi salah satu bentuk ikhtiar mereka untuk mendapatkan keturunan, khususnya yang sudah lama menikah tapi tak kunjung memiliki anak
Program bayi tabung bisa dibilang masih menjadi pro dan kontra di kalangan masyarakat awam. Bahkan ada yang menganggap bahwa hukumnya haram. Namun, benarkah begitu?
Lalu, bagaimana sih sebenarnya hukum bayi tabung menurut ajaran Islam?
Program bayi tabung sendiri boleh dilakukan jika pasangan suami istri memang sulit untuk mendapatkan keturunan.
Hal ini sudah tertera dalam fatwa yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 1979 tentang bayi tabung.
Adapun dalam fatwa tersebut dijelaskan jika bayi tabung yang berasal dari sperma dan sel telur pasangan suami istri yang sah, maka hukumnya mubah atau diperbolehkan.
Namun, program bayi tabung dikatakan haram jika sperma dan sel telur tersebut dititipkan ke rahim wanita lain sebagai sarana.
Untuk lebih lengkap, berikut ini fatwa MUI tentang bayi tabung yang bisa kamu ketahui:
1. Bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan suami istri yang sah hukumnya mubah (boleh), sebab hak ini termasuk ikhtiar berdasarkan kaidah-kaidah agama.
2. Bayi tabung dari pasangan suami-istri dengan titipan rahim istri yang lain. Misalnya dari istri kedua dititipkan pada istri pertama.
Hukumnya haram berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah, sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang rumit dalam kaitannya dengan masalah warisan.
Khususnya antara anak dilahirkan dengan ibu yang mempunyai ovum dan ibu yang mengandung kemudian melahirkannya atau sebaliknya.
3. Bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia hukumnya haram berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah, sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang pelik, baik dalam kaitannya dengan penentuan nasab maupun dalam kaitannya dengan hal kewarisan.
4. Bayi tabung yang sperma dan ovumnya diambil dari selain pasangan suami istri yang sah hukumnya haram, karena itu statusnya sama dengan hubungan kelamin antar lawan jenis di luar pernikahan yang sah (zina), dan berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah, yaitu untuk menghindarkan terjadinya perbuatan zina sesungguhnya.***