Bogordaily.net – Muharram merupakan salah satu bulan yang dimuliakan Allah. Dalam bulan ini, umat Islam bisa melakukan banyak ibadah, salah satunya puasa sunnah Asyura.
Namun, apakah dibolehkan menjalani puasa Asyura saat masih memiliki utang puasa Ramadhan?
Mengutip dari Umma, peneliti Rumah Fiqih Indonesia Ustadz Ahmad Zarkasih mengatakan dalam bukunya Muharram Bukan Bulan Hijrahnya Nabi, dalam hal ini ulama empat mazhab tidak dalam satu suara.
Pendapat pertama adalah pendapat mazhab al-Hanafiyah dan al-Syafi’iiyah. Mereka mengizinkan menjalankan puasa sunah walaupun masih mempunyai utang puasa Ramadhan.
Pendapat tersebut berdasarkan pada ibadah qadha’ Ramadhan hukumnya wajib tapi bersifat ‘ala al-tarakhi yang berarti boleh menunda.
Waktu qadha’ Ramadhan panjang, sejak masuk bulan Syawal sampai berakhirnya bulan Sya’ban sehingga kewajiban Ramadhan bukan kewajiban yang sifatnya ‘ala al-faur (bersegera), tapi boleh menunda karena waktunya panjang.
Dalam ilmu ushul fiqh, ini disebut wajib muwassa’, yaitu kewajiban yang waktunya panjang.
Dalam syariah, wajib muwassa’ adalah kewajiban yang boleh ditinggalkan dengan syarat ada azam untuk melakukannya di kemudian hari sampai batas akhir waktunya.
Pendapat kedua adalah pendapat mazhab al-Malikiyah. Mereka berpendapat puasa sunnah makruh hukumnya jika orang itu masih memiliki utang Ramadhan.
Ini berarti masih tetap boleh untuk menjalankan puasa dan sah puasanya tapi akan lebih baik jika dikerjakan yang wajib dulu, yairu qadha’ Ramadhan.
Pendapat ketiga merupakan pendapat Imam Ahmad bin Hanbal. Yakni kesunahan puasa hanya berlaku bagi mereka yang sudah melakukan puasa Ramadhan dengan sempurna.
Jadi, mereka yang masih punya utang kewajiban Ramadhan, tidak ada kesunahan puasa sunnah, malahan itu menjadi keharaman.
Artinya orang yang berpuasa sunnah baik itu Syawal atau puasa sunnah lain sedangkan masih mempunyai utang Ramadhan dia berdosa dan puasa sunnahnya tidak sah. Ini berdasarkan pada salah satu hadits, Rasulullah bersabda,
“Siapa yang berpuasa sunnah sedangkan ia punya kewajiban Ramadhan yang belum ditunaikan, maka puasa tersebut tidak diterima sampai ia menunaikan kewajiban puasa Ramadhannya,” (HR Imam Ahmad dalam Musnadnya).
Namun, hadis tersebut berstatus matruk, salah satu bagian dari hadits dhaif. Oleh karena itu tidak bisa berpendapat dengan hadis itu karena kedhaifannya.
Kedhaifan hadis ini sudah diakui oleh para ulama mazhab al-Hanabilah dalam kitab-kitab mereka seperti Imam Ibnu Qudamah dalam al-Mughnu.
Meskipun keempat mazhab berbeda pendapat, semua ulama dari kalangan empat mazhab itu sepakat untuk menyegerakan yang wajib.
Sebab, ibadah wajib sangat dianjurkan dan menunda-nunda kewajiban bukan sifat Muslim yang baik.***