Bogordaily.net – Pemerintah Indonesia menggunakan sejumlah vaksin untuk mencapai herd immunity (kekebalan kelompok).
Terbaru yang digunakan adalah vaksin produk Pfizer dengan pembelian sebanyak 50 juta dosis.
Sementara dari skema multilateral Indonesia akan mendapatkan jata 5 juta dosis Agustus ini. Lantas bagaimana hukum status kehalalan vaksin Pfizer?
Dari sejumlah jenis vaksin tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah melakukan Sertifikasi Halal pada empat produk, yakni Sinovac, AstraZeneca, Sinopharm, dan Pfizer.
Sementara itu, untuk Vaksin Sinovac, MUI menetapkan bahwa vaksin itu halal.
“Sedangkan untuk Vaksin AstraZeneca, Sinopharm, dan Pfizer MUI menetapkan bahwa ketiga vaksin ini haram,” demikian pernyataan yang merujuk pada hasil konsultasi dengan Tim Salam MUI yang tersedia di situs resmi MUI, Jumat (27 Agustus 2021).
Meski telah difatwakan haram, MUI menyatakan bahwa penggunaan vaksin-vaksin tersebut tetap dibolehkan.
Hal itu berdasarkan pada sejumlah alasan, di antaranya karena kondisi yang mendesak untuk mencapai herd immunity (kekebalan kelompok).
Mengutip dari Republika, alasan lainnya yakni adanya risiko fatal jika tidak dilakukan vaksinasi.
Ketersedian vaksin Covid yang halal tidak mencukupi, ketidakleluasaan pemerintah untuk mendapatkan, dan memilih Vaksin Covid-19.
Sementara itu, terkait vaksin moderna, MUI menjelaskan bahwa proses sertifikasi halal untuk vaksin tersebut agak rumit dan panjang alurnya. Sebab, vaksin tersebut didapatkan pemerintah melalui jalur multilateral.
Vaksin moderna memang sudah ditetapkan Emergency Use Authorization (EUA) oleh BPOM.
Vaksin ini didapat secara gratis dengan fasilitas Covax/Gavi. Skemanya adalah WHO mendapatkan vaksin dari perusahaan vaksin.
Kemudian WHO membagikan vaksin tersebut ke negara-negara yang tergabung dalam Covac tersebut.
Dengan skema demikian, sulit dilakukan proses sertifikasi halal, karena pemerintah tidak memiliki akses langsung dengan perusahaan vaksin.
“Sehingga MUI pun tidak dapat mengakses data-data tentang bahan, proses produksi vaksin yang dapat dijadikan dasar dalam penetapan fatwa atas kehalalan produk vaksin Moderna,” tambahnya.
MUI menyampaikan bahwa dalam menetapkan fatwa produk halal, pihaknya melakukannya berdasarkan pada tiga hal.
Pertama, bahan baik bahan baku, bahan tambahan, dan bahan penolong harus halal.
Kedua, proses produksi halal harus dijamin tidak terkontaminasi dengan najis.
Ketiga, adanya sistem dalam perusahan yang menjamin kehalalan mulai dari hulu sampai hilir.
Selain itu, MUI menambahkan bahwa vaksin-vaksin yang sudah difatwakan dan akan difatwakan adalah hasil diplomasi dan kerja sama bilateral antara pemerintah dengan negara asal produsen vaksin.
Dengan skema kerja sama bilateral tersebut, pemerintah diberikan akses dengan perusahaan untuk proses audit sertifikasi halal.***