Bogordaily.net – Para ulama berbeda pendapat tentang lokasi di mana Surat Al-Kautsar diturunkan. Tetapi, ada beberapa konsensus tentang alasan turunnya wahyu tersebut.
Ada beberapa riwayat yang berhubungan dengan situasi tertentu, antara Nabi Muhammad dan kaum musyrik. Ayat ini disebut diturunkan dan bercerita tentang Al-‘As ibn Wa’il.
Dilansir di About Islam, Rabu (1 September 2021) setiap kali namanya disebutkan dihadapan Rasulullah SAW, Ia akan berkata,
“Tinggalkan dia, karena memang, dia adalah seorang pria yang terputus dan tidak memiliki keturunan. Jadi ketika dia meninggal, dia tidak akan diingat”.
Oleh karena itu, Allah menurunkan Surat ini.
Hal serupa juga dikisahkan oleh Ibn ‘Abbas, Mujahid, Sa’id ibn Jubayr, dan Qatadah. ‘Uqbah ibn Mu’ayt, Ka’b ibn Al-Ashraf, serta Abu Lahab juga dilaporkan mengartikulasikan ucapan serupa.
Mereka, dan sayangnya banyak sahabat lainnya, digunakan untuk mencemarkan nama baik Nabi SAW dan mencegah orang mendengarkannya.
Setelah kematian awal putra-putra Nabi, orang-orang musyrik berpikir Nabi dan pesannya akan dilupakan setelah dia meninggal. Mereka akan terdengar mengatakan,
“Jangan ganggu dia; dia akan mati tanpa keturunan dan itu akan menjadi akhir dari misinya!”.
Oleh karena itu, ketika Surat Al-Kautsar itu diturunkan, hal ini menjelaskan beberapa hal.
Pertama, surat ini turun untuk menenangkan hati Nabi Muhammad SAW. Surat itu mengingatkannya pada kebaikan melimpah yang Allah SWT berikan kepadanya, di kehidupan sekarang dan di akhirat.
Kedua, tiga ayat ini meyakinkan Nabi Muhammad tentang kehilangan dan nasib yang menunggu orang-orang musyrik.
Terakhir, surat tersebut membimbing Nabi tentang bagaimana dia harus bertindak ketika menghadapi ejekan.
Surat Al-Kautsar yang terdiri dari tiga ayat ini memiliki arti, “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus”.
Istilah Al-Kauthar berasal dari Al-Kathrah, yang berarti ‘kelimpahan’ dan ‘jumlah yang besar’. Istilah ini, Al-Kautsar, digunakan untuk melambangkan kebaikan yang telah diberikan Allah SWT kepada Nabi-Nya.
Kebaikan yang melimpah, banyak, dalam jumlah yang besar, serta tiada habisnya ini, benar-benar melawan segala fitnah yang dikatakan orang-orang kafir tentang diri Allah SWT.
Ketika seorang Muslim membaca Alquran, maka dari Al-Kautsar mengalir deras kekayaan bagi semua orang yang mendekatinya.
Al-Kautsar ditemukan dalam Sunnah Nabi, yang bermanfaat bagi semua yang mengikutinya.
Ayat ini juga ditemukan dalam perbuatan baik yang dilakukan oleh jutaan orang yang mengikuti jalan Nabi, selama berabad-abad hingga akhir zaman.
Sebagian ulama mengatakan, Al-Kautsar melambangkan sungai di Jannah.
Hal ini benar, namun sungai yang disebutkan dalam beberapa hadits ini, hanyalah contoh dari kelimpahan yang tidak terbatas.
Dalam HR Tirmidzi, Imam Ahmed mencatat dari Ibn ‘Umar, Rasulullah berkata,
“Al-Kautsar adalah sungai di surga yang tepiannya terbuat dari emas dan mengalir di atas mutiara. Airnya lebih putih dari susu dan lebih manis dari madu”.
Ayat pertama Al-Kautsar ini merupakan penekanan dan memastikan kelimpahan yang tidak pernah berakhir diberikan kepada Nabi dalam kehidupan ini.
Ini juga merupakan kabar gembira untuk umat-Nya, dan hanya beberapa dari apa yang akan diberikan di surga.
Ketika karunia ini datang dari Yang Mahakuasa dan disebutkan dalam Alquran, ini pasti menghibur hati Nabi dan membuatnya merasa yakin dia akan menjadi pemenang di kedua kehidupan.
Perintah Ilahi kepada Nabi dan orang-orang yang beriman, “Maka berdoalah kepada Tuhanmu dan berkurbanlah kepada-Nya”.
Sebagai imbalan atas kebaikan yang melimpah dan sanggahan ilahi atas tuduhan palsu yang dibuat oleh orang-orang musyrik, Alquran mengarahkan Nabi SAW untuk bersyukur sepenuhnya dan tulus kepada Allah SWT.
Nabi dibimbing untuk mengamati semua tindakan ibadah, termasuk shalat wajib dan pengorbanan yang tulus dan demi Allah saja, tanpa menyekutukan-Nya.
Sebagai orang yang beriman kepada Allah, baik Nabi maupun pengikutnya, tidak boleh mengikuti langkah orang-orang kafir, dengan cara apa pun.
Ayat terakhir dari surah ini diartikan sebagai orang-orang yang memfitnah Nabi.
Mereka yang mengatakan Nabi tidak memiliki keturunan dan menganggap pesannya tidak baik, adalah orang-orang yang benar-benar terputus.
Orang-orang ini tidak lagi diingat oleh siapa pun, kecuali apa yang telah mereka katakan dan lakukan yang bertentangan dengan kebenaran.
Sebaliknya, pengaruh Nabi yang luar biasa terhadap umat manusia masih dan akan dikenang hingga akhir zaman.
Menyerukan orang lain kepada agama Allah SWT, kepada kebenaran dan kebaikan kehidupan sekarang ini dan akhirat, hal ini tidak bisa digambarkan sebagai perbuatan yang sia-sia.
Mereka yang mengajak manusia kepada Allah SWT adalah pengikut setia para Nabi dan pemandu yang ditunjuk oleh Allah untuk menjalankan misi para Nabi.
Tentunya, mereka akan menuju keberhasilan, terlepas dari kesulitan yang mungkin mereka hadapi di jalan dakwah. Kesulitan ini hanyalah bagian dari pekerjaan.***