Sunday, 24 November 2024
HomeNasionalMasyarakat Akar Rumput Jangan Mau Diadu Domba : Damang Harus Ambil Peranan...

Masyarakat Akar Rumput Jangan Mau Diadu Domba : Damang Harus Ambil Peranan Sebagai Penegak Hukum Adat Dayak

Bogordaily.net – Polemik keberadaan Pasukan Merah Tariu Borneo Bangkule Rajakng (PM-TBBR) mengalami dinamika sejak mereka hadir di Kalimantan Tengah tahun 2019 dalam sebuah sengketa Hutan Adat di Desa Kinipan hingga berujung aksi dari puluhan organisasi masyarakat (ormas) yang menamakan dirinya sebagai organisasi masyarakat Adat Dayak di Kalteng.  Hal ini menimbulkan berbagai tanggapan dan kali ini ditanggapi oelh Pemerhati Adat Budaya Kalimantan Tengah. Beliau mengingatkan jangan sampai polemik atau pertentangan itu malah terkesan sebagai adu domba antara masyrakat Dayak yang bisa saja berujung bentrokan fisik. Patut diduga, ini semua hanya lantaran kepentingan segelintir petinggi Ormas yang mengaku perduli dengan Adat Budaya Dayak maupun orang-orang yang ingin memecah belah sesama masyarakat Dayak, demi kepentingan lain yang bisa saja bernuansa politik maupun ekonomi, yang justru bisa saja merugikan bagi masyarakat Dayak sediri secara keseluruhan.

Masyarakat Dayak patut lebih cermat dan cerdas untuk melihat peristiwa ini sebagai sebuah bentrokan kepentingan yang bukan bernuansa Adat Budaya tapi demi kekuasaan dalam bidang ekonomi dan politik melalui cara-cara yang tidak seturut dengan Undang-Undang dan Peraturan yang berlaku. Sebuah kepentingan elit-elit yang ujungnya hanya ingin mengeruk Sumber Daya Alam (SDA) di Kalimantan, khususnya di Kalteng. Akibat dari semuanya bisa saja berujung menyengsarakan Masyarakat Dayak sendiri terutama masyrakat akar rumput yang  setiap harinya mengaku menjadi korban tak diperhatikan karena kepentingan para elit tersebut. Harusnya  kalau benar bahwa itu adalah persoalan Adat Budaya, maka cara menyelesaikannya juga melalui cara Adat dan budaya Dayak, bukan dengan aksi-aksi didepan masyarakat. Terlebih sampai melontarkan kalimat pengancaman atau mengeluarkan kata-kata kebencian (hate speech), yang pada dasarnya sudah tidak sesuai dengan Adat dan Budaya Dayak yang katanya ingin di berikan tempat terhormat, tapi malah pada saat yang sama patut diduga melanggar Adat dan Budaya Dayak itu sendiri. Kesemuanya potensial akan menimbulkan pelanggaran  atas Hukum Adat Dayak (96 pasal Hukum Adat hasil perdamaian Tumbang Anoi Tahun 1894) dan juga Hukum Positif.

Oleh karena itu sangat diharapkan bahwa  jangan sampai masyarakat Dayak terbelah membela sesuatu yang patut diduga adalah kepentingan tertentu kelompok elit. Masyrakat Dayak jangan mau diadu domba dan lebih baik saling merangkul dan bersahabat sesama Dayak sehingga eksistensi Dayak semakin lebih baik dan disegani oleh suku bangsa lainnya yang tinggal di Kalimantan. Selesaikan persoalan dengan tata cara adat Dayak yang ada. Ingatlah untuk selalu mempraktekan Budaya Huma Betang dan jangan mementingkan ego masing-masing.

Diingatkan bahwa hal yang terjadi saat ini bisa saja  adalah upaya memecah belah dan adu domba antar sesama Dayak. Sebab sejatinya masyarakat Dayak menginginkan kedamaian, kesejahteraan dan kerukunan, sesuai dengan Budaya Betang, senasib sepenanggungan. Masyarakat Dayak jangan sampai terpancing, sebab patut diduga diduga ini adalah polemic kepentingan yang berujung pada pengerukan dan ekploitasi  Sumber Daya Alam (SDA) yang begitu kaya yang  dimiliki oleh Kalimantan dan Kalimantan Tengah pada Umumnya, dengan cara-cara yang tidak bertanggungjawab. Sebagai contoh misalnya adalah data mengenai seratus lebih perusahaan yang lokasi usahanya bermasalah di Kalimantan Tengah sesuai dengan yang disampaikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Orang Dayak harus sadar bahwa Harta Nenek Moyangnya dijarah dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan hukum dan perundangan yang berlaku. Masyarakat Dayak harus mampu mencegah hal itu karena ini adalah jaminan hidup yang lebih baik untuk anak cucunya kelak.

“Oleh karena itu apabila benar yang dinarasikan bahwa TBBR sudah melanggar Adat Budaya Dayak  Kalimantan Tengah, mari selesaikan itu dengan adat dan Budaya Dayak pula.. Musyawarah dan saling menjunjung tinggi falsafah huma betang. Bukan dengan aksi-aksi atau hal lainnya. Makanya sangat diharapkan  persoalan itu harus dikembalikan dan diselesaikan sesuai Adat dan Budaya Dayak. Selalu ingatlah  Budaya dan atau Falsafah Huma betang. Bukan demo, tapi berunding. Konkretnya kalau ada persoalan adat budaya, mari diselesaikan dengan adat budaya pula,” ujar Pemerhati Adat Budaya Dayak, Darmae Nasir.

Pria asli Dayak Ngaju dari DAS Kahayan ini mengatakan, jika yang dipersoalkan adalah perbedaan adat budaya, maka penyelesaiannya adalah menggunakan adat budaya. Sebab, orang Dayak sangat menjunjung tinggi budaya dan falsafah Huma Betang. Yakni salah satunya berunding dan difasilitasi tim netral berasal dari para Damang. Karena sesuai ketentuan yang ada (Perda Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 2009), memandatkan bahwa Persoalan Adat Budaya, yang berhak menyelesaikannya adalah para Damang yang diangkat dan diberhentikan oleh Bupati/Walikota.

“Polemik itu harus diselesaikan dengan musyawarah. Difasilitasi dengan orang-orang yang dituakan, yakni Damang. Nah mereka itu yang menyelesaikan. Mereka itu adalah perangkat yang bertugas menjaga dan menegakkan adat budaya Dayak. Kita percayakan persoalan itu untuk diselesaikan oleh para Damang ,” ucap pria yang juga salah satu pengurus MADN dan juga mantan Sekretaris Jendral BATAMAD Kalteng ini melalui sambungan telepon, Senin (29/11). Namun beliau mewant-wanti bahwa ini adalah pendapat pribadi bukan atas nama organisasi apapun.

Beliau menegaskan, tidak ada persoalan Adat yang tidak bisa diselesaikan secara Adat, Hukum Adat Dayak yaitu 96 Pasal Hukum Adat Dayak sudah mengatur semuanya. Oleh karena itu maka para Damang sebagai pemangku Adat harus diberikan kepercayaan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Sangat diharapkan bahwa para Damang yang bertugas menjunjung tinggi Hukum Adat Dayak, sesuai dengan tugas dan fungsinya, untuk menunjukan bahwa masyarakat Dayak mempunyai Adat dan Budaya luhur yang patut dihormati oleh semua pihak.

“Makanya saya usul, polemik itu harus diselesaikan, bentuk tim khusus Damang untuk menyelesaikan hal tersebut. Ini sekaligus sebagai wujud bahwa masyarakat Dayak sadar dan mengerti  apa yang disebut Budaya Betang yang tentunya adalah penghormatan dan implementasi dari Hukum Adat Dayak,” tegas pria asli Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah ini.

Menurut dia, melihat polemik tersebut bukan sekedar menjaga  Adat dan Budaya, tetapi sangat mungkin ada kepentingan-kepentingan elite ormas Dayak. Makanya ditekankan jangan sampai masyarakat Dayak pecah atau diadu domba dan harus segera diselesaikan dengan membentuk tim Kedamangan dari seluruh Kalimantan Tengah, mengingat TBBR informasinya sudah mempunyai cabang di 12 Kabupaten/Kota di Kalimantan Tengah.

”Saya menilainya seperti itu, konflik kaum elite dalam tanda petik. Makanya segera diselesaikan, upayakan diselesaikan oleh para Damang. Bukan lembaga atau organisasi masyrakat adat Dayak, karena hanya Damang yang mempunyai legitimasi untuk menyelesaikannya secara Adat dan Hukum Adat Dayak, tegasnya.

Dia menambahkan, ini terkait eksistensi TBBR. Banyak yang saya kira dengan suka rela menjadi anggota dan mendukung mereka, karena Masyarakat Dayak pasti bisa menilai bahwa rekam jejak TBBR mungkin bagus sesuai dengan kepentingan mereka sebagai akar rumput, sehingga mendapatkan simpati yang luas  dari masyarakat Dayak Kalimantan Tengah. Sangat mungkin menurut penilaian masyarakat, mereka memiliki visi dan langkah konkret dalam membantu masyarakat adat yang ada di Kalteng.

“Saya tidak memihak siapa pun, namun saya nilai  kemampuan TBBR  yang hanya dalam waktu dua tahun bisa sampai ke kampung-kampung, adalah sesuatu yang luar biasa. Artinya misi mereka mungkin saja sangat tepat dengan perjuangan dan kebutuhan masyarakat saat ini, terutama di desa-desa. Aksi-aksi mereka itu saya kira adalah murni untuk kepentingan masyarakat sendiri,” ucapnya.

Dia menambahkan, selaku pemerhati,  mengingatkan masyarakat untuk tidak terjerumus dalam lingkaran kepentingan elite yang mungkin saja kelompok ekonomi tertentu yang kurang perduli dengan masyarakat dan perundang-undangan yang berlaku tentang hak dan kewajibannya selaku pengusaha kepada Negara dan juga dalam memberikan manfaat atau hak yang harus diberikan kepada masyrakat (pengusaha hitam). “Konkretnya diminta masyarakat bijak dalam menyikapi hal tersebut. Segera selesaikan dan saya yakin Kalteng selalu damai.” Jangan Cuma bisa mengucapkan Adil Ka’Talino; Bacuramin Ka’Saruga; Basengat Ka’Jubata, tapi tidak tahu maknanya dan mempraktekannya dalam kehidupan sehari-hari” pungkas Darmae Nasir.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here