Sunday, 24 November 2024
HomeBeritaDua Nasehat Kanjeng Sunan Kalijaga

Dua Nasehat Kanjeng Sunan Kalijaga

Dua kalimat sederhana sebagai nasihat hidup yang diajarkan Kanjeng Sunan Kalijaga (satu-satunya walisongo yang pribumi).

Dua kalimat tersebut dalam bahasa Jawa bermakna: mendatangi lawan tanpa membawa massa (ngeluruk tanpo bolo, artinya sendiri saja), memenangkan pertarungan tanpa merendahkan lawan (menang tanpo ngasorake).

Kalimat-kalimat yang mensiratkan ajaran sikap ksatrya. Perwira. Jantan (gentlement). Menghargai dan menjaga kehormatan lawan. Sikap menjaga kesopanan.

Tidak menindas yang lemah dan yang kalah adalah ajaran leluhur kita yang agung. Yang menunjukkan keadaban yang tinggi.

Itulah sebabnya syiar Islam Nusantara khususnya di Jawa sangat berhasil. Sebab dengan cara-cara yang beradab dan berbudaya.

Kanjeng Sunan Kalijaga mampu menaklukan hati para kaum bangsawan dan rakyat Jawa yang Hindu dan Budha menjadi pengikut kanjeng Nabi Muhammad.

Dengan cara dakwah melalui budaya wayang. Syair-syair macopotan. Gending Jawa yang merupakan kultur Hindu. Maka, tanah Jawa bisa diislamkan oleh kanjeng Sunan Kalijaga.

Bahkan dalam hikayat Syech Siti Jenar, yang dinyatakan sakti itu, mau tunduk dan pasrah karena pendekatan manusiawi dari Kanjeng Sunan Kalijaga.

Sehingga ia Syech Siti Jenar yang sakti mau menyerahkan nyawanya untuk di hukum mati karena dituduh bidah.

Pengikut Sunan Kalijaga yang bertransformasi dalam kelompok Ahlussunah Waljamaah Nahdlatul Ulama inilah yang dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia telah mampu menjaga kerekatan masyarakat yang beragam ini.

Tetap aman berdampingan, dan aman tidak terjadi konflik sektarian yang membelah bangsa.

Saat ini nasihat kanjeng Sunan Kalijaga tentang nilai-nilai yang sudah kompatible dengan kultur kita Indonesia yang damai, toleran, tepo seliro, dirusak oleh beberapa pihak. Antara lain: Habib Rizieq Shihab.

Dengan syiar menggunakan cara-cara penyebar kebencian. Membuat segregasi. Kafir-mengkafirkan. Membuat pernyataan permusuhan pada kelompok-kelompok manapun. Sehingga menimbulkan kontraksi sosial, permusuhan dan bahkan sengketa hukum.

Cara-cara syiar Rizieq Shihab, di depan umat jauh dari sikap teladan yang diisyaratkan bagi ulama yakni mendamaikan. Mencerdaskan. Membangun keimanan tanpa menghina pihak lain. Menjauhkan sikap-sikap permusuhan.
Dan pada faktanya, malah terjadi proses degradasi moral, pembodohan ketika umat diajak membenci saudara sebangsanya yang berbeda keyakinan serta menyerukan ajakan kekerasan.

Umat menjadi terpisahkan (tersegregasi atas dasar keyakinan), timbul rasa saling curiga dan kebencian antar anak bangsa.

Padahal, Indonesia sebagai salah satu negara terbesar demokrasi di dunia dan salah satu negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, yang masuk kategori damai, membutuhkan suatu kohesi sosial untuk mendukung kemajuan bangsa.

Rizieq Shihab malah memberikan kontribusi buruk dalam ukuran-ukuran tersebut. Parameternya, cukup kita lihat pada tampilan di media massa mainstream maupun medsos, terjadi saling perang opini bahkan dengan kata-kata destruktif dan kekerasan verbal. Konflik-konflik fisik bahkan terjadi diantara pihak pro dan kontra.

Dalam perspektif paedagogi, fenomena yang terjadi akibat pengajaran Rizieq sebagai seorang yang berilmu agama adalah suatu bentuk penyimpangan.

Tujuan pengajaran untuk meningkatkan mutu manusia tidak tercapai. Meningkatkan adab tidak tercapai. Ulama yang adalah Warosatul Anbiya (pewaris para nabi) yang semestinya mewarisi ahklak nabi tidak muncul. Yang justru ditonjolkan adalah sikap ego diri.

Kembali pada nasihat kanjeng Sunan Kalijaga, bila direfleksikan pada sikap dan tindak tanduk Rizieq sebagai ulama, maka sama sekali tidak tercermin: sikap satria, perwira, menghormati lawan, tidak menindas pihak lain.

Perkataan merendahkan, menghina dan pengerahan massa menunjukkan Rizieq bukan seorang satria dan perwira. Bahkan dilihat secara psikologis dia (Rizieq) seorang yang gamang bila sendiri.

Karenanya, bila timbul ekses-ekses ketegangan sosial maka kita sudah tahu akarnya yaitu dia (Rizieq) tidak menampilkan sikap-sikap teladan yang baik.

Kalau Rizieq mau menampilkan diri sebagai hero, ia perlu belajar pada sikap satria Jendral Salahuddin Al-Ayubi yang menaklukan Kota Yerusalem dengan merebutnya dari tangan pasukan Kristen dalam perang salib.

Salahuddin membiarkan penduduk Yerusalem yang Kristen dan “Pasukan Salib” meninggalkan Yerusalem tanpa ada penghinaan apalagi membunuh.

Kalau kita adalah umat, maka saudara perlu cermat pada siapa saudara akan tunduk dan taat belajar.

Karena kalau salah berguru, maka jalan saudara akan lancung di muka. Kalau kita salah belajar, maka sesungguhnya kita akan menjadi kaum yang bodoh dan terbelakang.

Maka teladanilah ulama yang mewarisi akhlak nabi, bukan ulama yang selfies.

Salam Indonesia Raya

Sugeng Teguh Santoso, SH

(Sekjen DPN Perhimpunan Advokat Indonesia dan Pendiri Yayasan Satu Keadilan)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here