BOGORDAILY- Organisasi Meteorologi Dunia menyatakan 2016 sebagai tahun terpanas dalam sejarah. Suhu atmosfer Bumi rata-rata dalam setahun naik 1,1 derajat celsius dibandingkan periode sebelum Revolusi Industri 1850-1899. Itu memicu anomali iklim di dunia, termasuk Indonesia.
Jika dibandingkan kondisi periode 1961-1990, kenaikan suhu Bumi secara global pada 2016 sebesar 0,83 derajat celsius. “Tahun 2016 adalah tahun ekstrem bagi iklim global dan dinyatakan sebagai tahun terpanas yang tercatat,” kata Sekretaris Jenderal Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) Petteri Taalas dalam siaran pers.
Kenaikan suhu itu hanya satu indikasi dari perubahan iklim akibat ulah manusia, yakni kenaikan konsentrasi gas rumah kaca, karbon dioksida (CO2), dan gas metana (CH4). Konsentrasi CO2 mencapai rekor tertinggi pada 2015, yakni 400 bagian per juta (ppm) atau 144 persen lebih tinggi dibandingkan sebelum Revolusi Industri dan terus meningkat. Adapun konsentrasi CH4 mencapai 1.845 bagian per miliar (ppb) atau 256 persen lebih tinggi dibandingkan sebelum Revolusi Industri.
Seiring dengan kenaikan suhu dan konsentrasi gas rumah kaca, es di Kutub Utara dan Kutub Selatan meleleh lebih cepat. Kenaikan suhu di Kutub Utara dua kali lebih cepat dibandingkan temperatur global. “Es di Greenland meleleh lebih awal dan cepat, jadi salah satu penyebab kenaikan permukaan laut,” kata Taalas.
Kenaikan suhu dan melelehnya es di kutub memicu perubahan cuaca, iklim, dan pola sirkulasi laut di belahan dunia lain. Anomali iklim dan bencana terkait hidrometeorologi di dunia pada 2016 diduga terkait dengan memanasnya suhu global itu.
Dampak di Indonesia
Menanggapi laporan WMO itu, ahli kelautan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Alan Koropitan, Kamis, dihubungi di Jakarta, memaparkan, kenaikan suhu atmosfer global terserap di lautan dan meningkatkan suhu perairan global. “Sebagai negara kepulauan, dampak yang kita alami perlahan, tetapi ada dampak bersifat segera,” kata Alan, yang juga Koordinator Bidang Kajian Strategis Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB.
Kenaikan suhu laut juga diungkapkan periset iklim dan cuaca ekstrem Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, Siswanto. Pada November 2016, kenaikan rata-rata suhu perairan laut 0,76 derajat celsius dibandingkan 30 tahun sebelumnya. “Di Indonesia, kenaikan suhu laut per tahun 0,01-0,02 derajat celsius,” katanya.
Dampak segera kenaikan suhu itu ialah menguatnya energi badai tropis. “Badai tropis tak melintas ekuator, tapi mengarah ke area dengan garis lintang lebih tinggi. Saat energi badai menguat, ekor badai berdampak serius bagi Indonesia,” ujarnya.
Di perairan yang mengalami kenaikan suhu signifikan lebih mudah tumbuh bibit siklon, seperti Samudra Pasifik barat di utara Papua atau perairan selatan Merauke dan Samudra Hindia di barat Lampung. Badai tropis Yvette terbentuk di Samudra Hindia pada 21 Desember 2016, memicu hujan ekstrem sehingga ada banjir besar di Kota Bima, Nusa Tenggara Barat. Curah hujan di Bima saat itu 208 milimeter per hari, tertinggi dalam sejarah.
Alan menambahkan, pada akhir Januari sampai awal Februari 2012, badai tropis Iggy yang terbentuk di Samudra Hindia memicu cuaca ekstrem berupa angin kencang di sebagian area Indonesia. Wilayah terdampak yang meliputi Banten, Kepulauan Seribu, dan pesisir selatan Kalimantan menunjukkan kuatnya ekor badai itu. “Menurut tren ini, kami perlu mencermati dan memprediksi dampak badai tropis bagi kepentingan mitigasi,” ucapnya.
Hal yang perlu diwaspadai di Indonesia dari memanasnya suhu laut adalah kematian terumbu karang (reef bleaching). Tahun 2016 menjadi kematian terumbu karang terburuk dalam sejarah Great Barrier Reef, Australia. Di Indonesia, hal itu terjadi di perairan selatan sampai Wakatobi.
Menurut analisis data pantauan satelit 20 tahun terakhir, ada penurunan klorofil A, bagian dari fitoplankton, di perairan luar Indonesia, misalnya Samudra Hindia dan Laut Sulawesi. “Penurunan fitoplankton mengurangi zooplankton. Jika dikaitkan dengan rantai makanan, itu mengurangi stok ikan,” katanya.
Sumber: kompas.com