BOGOR DAILY- Pengakuan mengejutkan diungkapkan mantan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) RI Gamawan Fauzi. Di balik kisruh proyek E-KTP, dalam persidangan Kamis (16/3), Gamawan buka-bukaan soal honor yang diterima saat masih menduduki orang nomor satu di Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri).
Selain disebut menerima USD 4,5 juta, mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi disebut mendapat Rp 50 juta terkait proyek e-KTP. Uang Rp 50 juta yang ia terima, menurut Gamawan, merupakan honornya sebagai pembicara saat masih menjabat Mendagri.
“Saya baca disebut-sebut terima Rp 50 juta untuk lima daerah. Saya perlu clear-kan, Yang Mulia, karena banyak yang bertanya kepada saya. Uang itu honor saya pembicara, Yang Mulia, di lima provinsi,” kata Gamawan saat bersaksi di Pengadilan Tipikor, Jl Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Kamis (16/3).
Gamawan lalu menjelaskan, saat menjadi menteri, dia mendapatkan honor Rp 5 juta per jam. Menurut Gamawan, hal itu sesuai dengan aturan.
“Karena menurut aturan, 1 jam menteri bicara itu Rp 5 juta. Kalau saya bicara 2 jam, Rp 10 juta. Saya menerima komisi, jadi itu honor resmi, saya tanda tangani. Bukan uang dikasih, uang operasional saya, Yang Mulia,” ujar Gamawan.
Gamawan menjabat Mendagri pada periode 2009-2014. Entah aturan mana yang dimaksud Gamawan. Proyek e-KTP sendiri merupakan proyek multiyears dari 2010-2012.
Mengacu pada Permenkeu Nomor 36 Tahun 2012, yang merupakan perubahan atas Permenkeu Nomor 84 Tahun 2011 tentang standar biaya tahun anggaran 2012, honor menteri sebagai pembicara adalah Rp 1,5 juta. Dalam aturan tersebut tak dijelaskan apakah Rp 1,5 juta tersebut untuk satu jam atau sekali menjadi pembicara.
Dalam surat dakwaan KPK, mantan Dirjen Dukcapil Irman, yang kini telah duduk sebagai terdakwa, menerima aliran uang Rp 876.250.000, USD 73.700, dan SGD 6.000. Uang itu disebut digunakan untuk membiayai kepentingan pribadi dan diberikan kepada beberapa orang, termasuk Gamawan. Gamawan disebut menerima uang Rp 50 juta dari Irman itu pada saat kunjungan kerja di Balikpapan, Batam, Kendari, Papua, dan Sulawesi Selatan (de/bd)