Warga urban Bogor. Tinggal dalam petak-petak ukuran 3×4 meter. Yang kadang diisi lebih dari satu keluarga. Sanitasi seadanya. Pengab. Padat. Berkelok-kelok. Dalam lorong-lorong kecil kadang seukuran tubuh kita.
Mereka tinggal dalam rumah yang berada dalam lereng-lereng kota. Di daerah aliran sungai. Setiap saat terancam rumahnya longsor. Hancur. Bahkan nyawa melayang.
Belum dan tidak ada solusi permanen dari Pemkot Bogor atas persoalan ini. Keadaan mereka bahkan lebih tidak aman dibandingkan saya dulu di Gang Rukun, Mangga Dua, Jakarta Pusat.
Mereka warga Kota Bogor. Ada yang lahir di Bogor dan asli orang Bogor. Ada urban dari Cilacap. Sukabumi. Cianjur. Dan lain-lain. Mereka bekerja di sektor informal: sopir, pedagang, kerja kasar, tukang batu. Dan banyak juga pengangguran.
Malam tadi di Sindangsari. Saya bertemu dengan komunitas yang sama dengan komunitas miskin kota Jakarta. Kondisi mereka memprihatinkan. Berada di pinggir sungai yang akan kena imbas banjir bila air  besar. Air akan masuk merendam isi rumah setinggi lutut. Meski rumah sudah ditinggikan. Tetap mengungsi sementara pada akhirnya.
Akan tetapi walau ada keluhan, mereka tetap merupakan orang-orang yang tegar. Tidak menyerah. Ketika saya datang. Mereka seperti mendapat forum untuk menumpahkan uneg-uneg mereka. Atas kondisi sanitasi lingkungan. Infrastruktur. Fasilitas sosial Posyandu. Dan lain-lain.
Mereka semua tumpahkan pada saya. Yang mereka tidak tumpahkan adalah soal sandang dan pangan. Mereka mengaku bisa atasi sendiri walau pas-pasan.
Kondisi buruknya sanitasi dan ketiadaan ruang terbuka hijau dalam perkampungan, tentu kontras dengan gelontoran miliaran untuk sekedar membuat cantik pedestrian. Taman. Dan Lawang Salapan. Apakah ini politik pembuaian?
Secara psikologis, dapat saya tangkap mereka haus dikunjungi. Dijamah. Disapa. Ditepuk. Dan ditanya apa kabar saudara-saudara? Sapaan tersebut adalah kran yang akan meluncurkan puluhan keluhan seperti di atas.
Saya datang dan menyapa, maka setumpuk keluhan segera hadir. Apakah ini yang membuat para politisi, pejabat pemerintah takut turun ke bawah? Takut dituntut pemenuhan hak-hak mereka akan kesejahteraan sebagai warga negara?
Keluhan mereka harus diatasi. Wajib diatasi dan mereka wajib diberi fasilitas untuk sejahtera lahir dan batin. Pemerintah mampu dalam ukuran yang adil memenuhi hak-hak mereka.
Untuk itu saya turun pada mereka. Sebagai seorang yang pernah hidup sama dalam kemiskinan seperti mereka. Saya faham apa artinya empati. Simpati. Dan pertolongan.
Sebagai anak yang lahir dari ayah seorang sopir becak dan bajaj. Saya mengerti perasaan direndahkan. Dipandang sebelah mata.
Karenanya, saudara-saudaraku. Saya hadir untuk saudara-saudara semua. Kita harus atasi masalah-masalah saudara bersama-sama. Pemerintah dapat menjadi dinamisator dan fasilitator  kesejahteraan saudara-saudara. Dengan politik keuangan di APBD.
Tetapi saudara juga harus meningkatkan SDM. Anak-anak saudara harus diberi dukungan yang layak. Untuk dapat berhasil keluar dari lingkungan pengap ini. Bangkit memperbaiki taraf hidup.
Saya akan berjalan dan berdiri bersama dengan saudara-saudara. Karena saya tahu rasanya menjadi saudara saat ini.
Salam Juang,
Sugeng Teguh Santoso, SH
(Calon Walikota Bogor 2018)