BOGOR DAILY– Sebuah jalan setapak mengantarkan langkah kaki menuju Kampung Bedeng. Sambil menuruni tebingan yang masih berupa tanah dan batu, terlihat jajaran rumah warga sudah menumpuk. Mereka membuat hunian tepat di bantaran Sungai Cipakancilan.
Sementara, tebingan setinggi sepuluh meter yang sewaktu-waktu longsor terus membayang-bayangi hiruk-pikuk warga. Namun, sejak 1980 mereka justru nekat menantang maut dengan membangun rumah semi permanen di bantaran sungai di RT 01/13, Kelurahan Kedung Badak, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor.
“Mau gimana lagi, di sini sudah terbiasa. Kalau longsor ya nanti dibangun lagi,” ungkap Gita (26) pemilik warung kelontong yang sudah ikut orang tuanya sejak 1989.
Tak hanya ancaman longsor, bahkan warga di sana masih sering mendapati ular yang masuk ke dalam rumah. “Pernah ada rumah dimasuki ular sanca karena ini kan dekat rawa,” ujar dia.
Gita tak sendiri. Masih ada 76 Kepala Keluarga (KK) yang menempati Kampung Bedeng bernasib sama.
Menurut cerita, awalnya kampung itu mulai ditempati empat KK pada 1978. Namun lama kelamaan banyak pendatang yang ikut menempati Kampung Bedeng yang aslinya merupakan Kampung Kedung Badak Sentral.
“Tadinya hanya ada empat rumah, asli warga sini. Tapi sekarang sudah 76 KK dan satu rumah bisa diisi tiga KK. Kita juga tidak tahu tiba-tiba sudah banyak rumah,” ungkap Ketua RT 01 Kampung Kedung Badak Sentral, Joko Supeno (63).
Warga di sana tak punya pilihan selain menempati pemukiman di bawah jurang. Alasannya klise, yakni untuk tempat berlindung.
“Berhubung pada perlu rumah, jadinya ngebangun. Rata-rata warga pendatang dari Cianjur, Sukabumi, Jakarta dan Jawa. Bahkan ada orang Bogor juga,” ucapnya.
Jika hujan deras mengguyur atau angin besar menerjang warga pun mulai waswas. Bersiap munculnya longsor susulan yang dari tahun ke tahun selalu menghampiri.
“Mereka sudah biasa, apalagi sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu dan rumahnya tidak kenapa-napa. Walau begitu mereka tetap siap-siap kalau cuaca lagi buruk,” tuturnya.
Joko menjelaskan, sebagian banyak warganya yang sudah lanjut usia bekerja sebagai pemulung hingga buruh kasar. Sedangkan, untuk anak mudanya lebih memilih bekerja dengan orang lain seperti menjadi sopir, penjaga toko hingga lainnya. “Kalau anak mudanya ada perubahan, tidak menjadi pemulung seperti orang tuanya. Namanya zaman, mereka juga pada sekolah jadi pada pintar,” jelas dia.
Joko berharap, Pemkot Bogor menyediakan tempat relokasi untuk warganya. Sebab, tempat tinggal barulah yang sangat didambakan warga Kampung Kedung Badak Sentral. Mengingat, keadaan tanah semakin lama semakin terkikis. “Kami harap pemerintah bisa menyediakan. Kami khawatir terjadi hal yang tidak diinginkan. Mau bantu juga tak bisa dana dari mana,” ujarnya.
Menanggapi hal itu, Lurah Kedung Badak Maulana Yusuf mengaku tak bisa berbuat apa-apa jika berbicara mengenai relokasi untuk warganya. Sebab, kewenangan relokasi tersebut berada di Pemkot Bogor. “Kalau mindahin kita tidak punya kewenangan, apalagi sampai ganti rugi,” kata Yusuf.
Ia hanya berharap masyarakat tak menempati atau membuat rumah baru di kawasan tersebut. Karena, lahan di sekitar itu merupakan milik Balai Pendayagunaan Sumber Daya Air (BPSDA) Wilayah Sungai Ciliwung- Cisdane, yang sewaktu-waktu bisa mereka gunakan. “Sebaiknya jika sudah punya rejeki mending cari rumah yang lebih aman, kita juga akan bantu melalui pelatihan kegiatan pekerjaan untuk mereka,” tutupnya. (metropolitan)