BOGOR DAILY– Presiden oko Widodo (Jokowi) sudah memerintahkan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional untuk melakukan kajian mendalam terkait pemindahan Ibu Kota Negara
ibu kota dipindahkan ke Kota Palangkaraya, peluang KecaRI. Walau wacana dominan matan Jonggol, Kabupaten Bogor sebagai Ibu Kota RI yang pernah diwacanakan Pemerintah Orde Baru, tetap terbuka.
Tiga Skenario
Peluang Kecamatan Jonggol dikatakan masih terbuka, karena terkait dengan Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang pernah mengajukan tiga skenario pemindahan ibu kota.
Tiga skenario ini dikembangkan karena pemindahan ibu kota merupakan sebuah kerja besar, yang bertali-temali dengan banyak hal mulai dari ketersediaan lahan dengan luas yang memadai, sampai anggaran yang tidak kecil yang menurut perkiraan berkisar antara Rp1.000 – 1.500 triliun.
Tiga skenario yang dikembangkan itu pertama adalah skenario realistis, di mana ibu kota tetap di Jakarta. Namun untuk yang satu ini, harus ada pilihan kebijakan untuk menata, membenahi dan memperbaiki beberapa persoalan Jakarta, seperti kemacetan, urbanisasi, degradasi lingkungan, kemiskinan urban, banjir dan tata ruang wilayah. Kebijakan ini harus diikuti dengan desentralisasi fiskal dan penguatan otonomi daerah untuk mengurangi kesenjangan antardaerah.
Skenario kedua adalah skenario moderat. Dalam konteks ini, Presiden menawarkan agar pusat pemerintahan dipisahkan dari ibu kota negara. Artinya, Jakarta akan tetap diletakkan sebagai ibu kota negara karena faktor historis. Namun, pusat pemerintahan akan digeser atau dipindahkan ke lokasi baru.
Karena itu, dibutuhkan kajian yang komprehensif perihal beberapa opsi lokasi dari pusat pemerintahan baru ini. Tentu saja, perlu dipertimbangkan faktor jarak antara Jakarta sebagai ibu kota dan pusat pemerintahan baru, khususnya terkait dengan infrastruktur wilayah, jaringan transportasi yang terpadu, serta prasarana pendukung lainnya.
Adapun skenario ketiga adalah skenario ideal yang bersifat radikal. Dalam opsi ini, negara membangun ibu kota negara yang baru dan menetapkan pusat pemerintahan baru di luar wilayah Jakarta, sedangkan Jakarta hanya dijadikan sebagai pusat bisnis. Skenario radikal itu memerlukan strategi perencanaan yang komprehensif dengan beberapa opsi penentuan calon ibu kota baru.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional tentunya akan keluar dengan sejumlah opsi. Namun, tidak tertutup kemungkinan Bappenas muncul dengan opsi sesuai skenario kedua yang pernah diajukan Presiden SBY.
Skenario kedua ini adalah skenario moderat. Artinya, Jakarta akan tetap diletakkan sebagai ibu kota negara karena faktor historis, namun pusat pemerintahan digeser atau dipindahkan ke lokasi baru, mungkin kota-kota satelit di luar Jakarta. Tentu saja dengan mempertimbangkan faktor jarak antara Jakarta sebagai ibu kota dan pusat pemerintahan baru, khususnya terkait dengan infrastruktur wilayah, jaringan transportasi yang terpadu, serta prasarana pendukung lainnya.
Wilayah yang terdekat dengan Jakarta tentunya Jabodetabekjur. Jika pilihannya seperti itu, maka Jonggol memiliki peluang lebih besar karena kota-kota satelit di sekitar Depok, Tangerang, Bekasi dan Cianjur relatif sudah padat penduduk. Sementara Kecamatan Jonggol, Kabupaten Bogor, selain dekat dengan Jakarta, juga dikenal sebagai wilayah yang masih asri dan jauh dari kebisingan kota serta masih cukup banyak tersedia lahan yang cukup luas.
Tingkat kepadatan penduduk di wilayah ini juga tergolong masih rendah. Dengan luas wilayah sebesar 97,2 Km2 dan jumlah penduduk sekitar 120 ribuan jiwa, kepadatan wilayah ini hanya mencapai 1,300/Km2. Dengan kondisi semacam itu, wilayah Jonggol dimungkinkan untuk pengembangan infrastruktur dasar yang diperlukan bagi pembangunan Ibu Kota RI.
Di sisi lain, dari segi anggaran, pengembangan Jonggol sebagai Ibu Kota RI juga tidak terlalu memberatkan, dibandingkan dengan beban anggaran yang harus ditanggung jika Palangkaraya dipilih sebagai Ibu Kota RI.
Jonggol bisa menjadi pilihan alternatif sebagai pusat pemerintahan negara yang baru, sembari menuntaskan sistem transportasi Jakarta dengan pembangunan Mass Rapid Transportation (MRT), subway dan busway yang terintegrasi dan pelaksanaan kebijakan penataan ruang yang sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur (Jabodetabek Punjur).
Pemerintah juga sudah membenahi sistem transportasi Jakarta yang terintegrasi dari dan ke kota satelit, sehingga akan memudahkan pemindahan pusat pemerintahan. Adanya jalan penghubung ini, memiliki fungsi peran strategis yang mampu mengurangi beban ibu kota negara yang kini dihuni oleh sekitar 10 juta jiwa. Dengan demikian diharapkan kawasan Jabodetabekjur bisa cepat berkembang menjadi kawasan hunian yang aman, nyaman dan produktif.
Realisasi skenario ketiga itu sudah ada presedennya yakni Belanda. Walaupun ibu kotanya tetap di Amsterdam, pemerintahan kerajaan dan sebagian fungsi pemerintahannya ada di Den Haag. Kasus serupa terjadi di Negeri Jiran Malaysia. Pusat administratif Malaysia sejak 1999 telah dipindahkan dari Kuala Lumpur ke Putera Jaya. Namun, Kuala Lumpur masih berstatus sebagai Ibu Kota Malaysia, sementara Putera Jaya yang lokasinya tak jauh dari Kuala Lumpur, diposisikan sebagai pusat administrasi pemerintahan.
Dengan demikian, fungsi administratif pemerintahan dapat dikembangkan lebih optimal karena lebih terpadu dan terkonsentrasi di Putera Jaya. Sebagai orang Bogor, kita tentu berharap ibu kota dipindahkan ke Jonggol yang belakangan juga sudah dibangun (walau belum selesai) akses jalan yang dikenal dengan Poros Tengah Timur yang membuka akses lebih luas ke luar Bogor.(*)