Saturday, 23 November 2024
HomeKabupaten BogorMemaknai Tahun Baru Islam

Memaknai Tahun Baru Islam

Oleh: Hj. Ade Yasin, SH, MH

(Calon Bupati Bogor 2018)

Selalu ada nuansa berbeda di setiap peringatan tahun baru Islam di Bogor. Di sudut-sudut jalan kampung dan komunitas remaja, perayaan tahun baru Islam dengan berbagai pesan moral terus berlangsung. Bahkan pawai obor dan berbagai budaya yang lekat di masyarakat terus digelorakan dalam setiap memperingatinya.

Sebagai wakil rakyat, jauh-jauh hari undangan dari warga juga sudah berdatangan untuk saya agar bisa melewatkan pergantian tahun baru Islam secara bersama. Ingin rasanya saya bisa menghadiri semua undangan itu. Namun karena sesuatu yang tidak mungkin, saya memilih beberapa saja. Puncak peringatan tahun baru Islam 1439 Hijriah kali ini saya lewati bersama ribuan masyarakat dan alim ulama di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor.

Banyak refleksi bermakna yang bisa dilakukan dalam memaknai tahun baru Islam. Di antaranya adalah begitu cepatnya berjalanan waktu dan perubahannya. Sang waktu terus berjalan dan berubah dan tidak ada sesuatu yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri.

Saat ini pun, tak terasa kita telah memasuki tahun baru 1439 Hijriah, tepatnya berada di bulan Muharram. Kata “Muharram” sendiri berasal dari kata “harrama” yang mengalami perubahan bentuk menjadi “yuharrimu-tahriiman- muharraman-muharrimun.

Bentukan “muharraman” berarti yang diharamkan. Apa yang diharamkan? Salah satunya perang atau pertumpahan darah. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat  At-Taubah ayat 36:

“Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah sebagaimana disebut di Kitabullah ada 12 bulan sejak Allah menciptakan langit dan bumi, dan terdapat 4 bulan di dalamnya merupakan bulan yang diharamkan”.

Membicarakan bulan Muharram pasti tidak akan lepas dari peristiwa Hijrah-nya Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah, yakni pada tahun 622 M. Hijrah itu sekaligus menjadi tonggak awal dimulainya kalender Islam. Ini artinya hijrah Rasulullah SAW beserta para sahabatnya ke Madinah telah berumur 1439 tahun. Sebuah peristiwa bersejarah yang patut dikenang dan bisa menjadi proses tranformasi spiritual.

Di dalamnya terkandung makna dan keteladanan untuk sebuah pengorbanan sejati melawan kebatilan sekaligus sikap konsisten mengedepankan kepentingan visi dan misi dari kepentingan apapun. Taruhannya pun tidak main-main, yakni harus berdarah-darah, meninggalkan negeri, harta, sanak saudara dan handai taulan tercinta.

Secara harfiah hijrah ini artinya berpindah. Namun secara istilah ia mengandung dua makna: hijrah makani dan hijrah maknawi.  Hijrah makani artinya hijrah secara fisik berpindah dari suatu tempat yang tidak baik menuju yang lebih baik: dari negeri jahiliyah menuju negeri damai yakni Islam.

Adapun hijrah maknawi artinya berpindah dari nilai yang kurang baik menuju nilai yang lebih baik. Dari kebatilan menuju kebenaran. Dari kekufuran menuju ke-Islaman. Dua makna hijrah tersebut sekaligus terangkum dalam hijrah Rasulullah SAW dan para sahabatnya ke Madinah. Secara “makani” jelas mereka berjalan dari Mekkah ke Madinah menempuh padang pasir sejauh kurang lebih 450 KM. Secara “maknawi”  jelas mereka hijrah demi terjaganya visi dan misi Islam.

Dalam sejarah para rasul juga dekat dengan tradisi hijrah. Semua hijrah tersebut dilakukan atas semangat penegasan loyalitas keimanan yang berujung menuju kepada yang lebih baik atas ridha Allah SWT. Sebut saja misalnya: Nabi Ibrahim. Beliau telah melakukan hijrah beberapa kali dari Babilon ke Palestina, dari Palestina ke Mesir, dari Mesir ke Palestina lagi, semua demi “Risalah Suci”.

Peristiwa hijrah adalah sebuah pengorbanan. Pelajaran lain hijrah menegaskan adanya perseteruan abadi antara kebatilan versus kebenaran. Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Baqarah ayat 147 yang artinya: “Kebenaran itu datang dari Rabb-mu maka jangan sekali-kali engkau termasuk orang yang ragu-ragu”.

Jika rumusan tersebut betul-betul dihayati oleh setiap muslim untuk selanjutnya secara konsisten diterapkan dalam sendi-sendi kehidupan, maka nasib umat ini secara umum akan lebih baik dari sekarang. Sebab, dalam dirinya terdapat potensi yang luar biasa. Yang apabila digali dan di manajemen dengan sungguh-sungguh akan mengantarkan kepada kehidupan kita yang jauh lebih baik, lurus, juga cerah.

Ketidaksadaran akan potensi dirinya akan berdampak kepada pengkerdilan potensi itu sendiri. Sehingga manusia sering tidak berdaya dalam menghadapi persoalan hidup. Bentuk ketidaksadaran akan potensi diri ini bisa bersifat individu atau kolektif. Dalam tataran individu hal itu akan membuat individu yang bersangkutan mengalami kelumpuhan berfikir, kelumpuhan nurani dan kelumpuhan beraksi.

Sedangkan dalam skala kolektif akan menimbulkan kelumpuhan satu bangsa, satu generasi atau satu umat, sehingga akan melahirkan generasi yang mandul. Umat yang rapuh dan bangsa yang stagnan. Padahal Allah sudah memberikan peringatan dalam Al-quran: “Dan janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi jika kamu orang-orang yang beriman”. (QS. Ali Imran:139)

Sering kali kita tidak menyadari bahwa kita memiliki potensi untuk mengatur menjadi “imam” umat lain, menjadi imam peradaban dan budaya. Sesungguhnya Allah membuka kesempatan bagi kita untuk menjadi umat terbaik di mata dunia. Namun, kita sering lupa bahwa Allah memberi kita potensi untuk menjadi umat pilihan. Umat yang dapat mendatangkan kesejukan. Memberikan rasa nyaman. Memberikan keadilan dan menghargai martabat manusia.

Ini akibat keserakahan, ketamakan, iri dengki, hasud dan sebagainya. Kita jauh keluar jalur dari desain Allah. Sehingga akibatnya tidak hanya merugikan diri sendiri tapi juga mengakibatkan kerugian kepada yang lain. Tak hanya itu, agama Islam yang begitu tinggi dan mulia juga menjadi ternoda. Padahal sesungguhnya  Islam itu adalah agama pembawa kedamaian bahkan sebagai rahmatan lil’alamiin.

Saat ini di tengah gaduh politik yang terus mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara, menjadi penting memaknai tahun baru Islam dengan semangat menjaga ukhuwah Islamiyah, Basariah dan Madaniah. Kita harus mulai dari diri kita (ibda’ binafsik) selanjutnya kesadaran individual harus bermetamorfosis menjadi kasadaran kolektif. Menjadi kesadaran umat. Sehingga mampu menempatkan diri pada tempat yang seharusnya.

Umat Islam Indonesia harus memahami makna hijrah secara makro. Hijrah bukan hanya pindah dari suatu tempat ke tempat lainnya. Tapi makna hijrah secara luas adalah perubahan, termasuk perubahan pola pikir dalam menempuh perjalanan hidup di dunia ini. Wallahualam bishawab (*)