BOGOR DAILY– Menteri Koordinator Perekonomian era Presiden Gus Dur, Rizal Ramli terus menganalisa dan mengajukan solusi atas kebijakan pemerintah terutama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, yang selalu menerapkan kebijakan fiskal sesuai titipan Bank Dunia.
“Jadi aneh pemerintah ini yang hanya bisa melakukan kebijakan austerity atau pengetatan. Di saat ekonomi sedang slow down mereka justru melakukan pengetatan. Ini model kebijakan Bank Dunia,” tegas Rizal saat berkunjung ke kantor redaksi, Kamis (28/9).
Padahal kebijakan ini terbukti gagal di banyak negara. Di negara-negara Amerika Latin dan Yunani kebijakan ini justru memperparah perekonomian negara-negara itu.
“Yunani pernah melakukannya tiga kali. Dilakukan pertama ekonomi malah melambat dan daya beli makin anjlok. Paket austerity yang kedua sama, makin sulit dan sampai tiga kali,” kata Rizal
Makanya, tahun lalu, Menteri Ekonomi Yunani meminta dirinya untuk memberi masukan agar tak tergantung dengan kebijakan austerity tsb. Karena Rizal memang terkenal dalam menghadapi Bank Dunia dan IMF.
Rizal Ramli pernah meminta agar tim ekonomi Presiden Joko Widodo berhenti untuk berkilah alias ngeles untuk menutupi kelemahannya saat semakin buruknya kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat. “Ini kok rajinnya ngeles. Online (bisnis) lah jadi penyebab retail anjlok. Let get straight, kebijakan makro ekonomi super konservatif itu penyebab anjlok,” kicau Rizal melalui akun twitter pribadinya @RamliRizal, Senin (7/8/17).
Dikonfrimasi oleh redaksi, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu merinci kebijakan makro ekonomi super konservatif yang dia maksud. Beberapa diantaranya, tim ekonomi Jokowi hanya memiliki prioritas utama bayar pokok dan bunga utang.
“Rp 512 Triliun untuk tahun 2017, infrastruktur prioritas ketiga Rp 387 Triliun. Tidak ada kreatifitas untuk mengurangi beban utang dengan cara seperti ‘Debt-to-Nature Swap’,’Loan Swap’ dan lainnya,” jelas Rizal.
Mantan Menteri Koordinator bidang Maritim dan Sumber Daya itu juga menilai tim ekonomi Jokowi hanya fokus pada austerity (potong-potong/pengetatan). Itu dilakukan hanya sekedar untuk mengamankan kepentingan kreditors, i.e. pembayaran utang.
“Tidak ada ‘growth story’ yang memacu sektor-sektor unggulan yang competitive dan cepat hasilkan devisa seperti tourism, electronics dan lainnya,” kata Rizal
Tokoh pergerakan dan Mantan Kepala Bulog itu juga menilai tim ekonomi Jokowi melihat macro economics seolah-olah hanya soal inflasi dan APBN. Padahal kata Rizal, banyak cara untuk memicu infrastruktur di luar APBN seperti revaluasi aset. Rizal pun bercerita dia berhasil mendorong asset BUMN naik Rp 800 triliun dan pajak Rp 32 triliun pada tahun 2016 lalu.
“Selain revaluasi aset juga harusnya lakukan sekuritisasi aset, BOT/BOO untuk infrastruktur di Jawa (daya beli dan pertumbuhan ekonomi relatif tinggi),” tambah Rizal.
Rizal juga menyayangkan pertumbuhan kredit di bawah tim ekonomi Jokowi yang hanya mencapai 5%. Menurut Rizal untuk mencapai target ekonomi tumbuh 6,5% maka kredit perlu tumbuh 15 hingga 17%.
“Tapi harus tetap prudent,” ujar Rizal.
Terakhir Rizal juga mengkritisi soal kebijakan pemotongan subsidi dan pajak yang diuber-uber. Ironisnya penguberan pajak itu termasuk untuk golongan menengah bawah seperti petani tebu dan yang memiliki akun Rp 1 miliar.
“Upaya turunkan batas minimum kena pajak Rp 4,5 juta. Kalau berani yang top 1 % dong. Di negara yang lebih canggih pengelolaan makro ekonominya, mereka longgarkan fiskal, pajak dan moneter ketika ekonomi slowdown. Nanti kalau sudah membaik, baru diuber,” ujar Rizal.
Rizal pun mengaku mendapatkan data jika penjualan sepeda motor saat ini turun 5%. Selain itu, pertumbuhan konsumsi listrik hanya 2% yang biasanya bisa mencapai 9%. Pertumbuham omset semen pun disayangkan Rizal hanya mencapai 3% yang biasanya 10%.
“Dari pada ngeles, mungkin lebih simpatik akui trend-trend factual dan umumkan langkah-langkah yang akan diambil dan time-framenya. Lebih asyik ndak perlu ngeles lagi. Sudah terang benderang, cari solusi keluar dari kebijakan makro ekonomi konservatif,” demikian Rizal.[san]
INFRASTRUKTUR
Pembangunan infrastruktur yang terus dilakukan secara masif dinilai akan menyisakan persoalan. Sebabnya, keuangan negara dari penerimaan pajak belum mencerminkan hasil yang signifikan dan daya beli masyarakat yang menurun.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, mengatakan satu penyebab turunnya daya beli masyarakat adalah kebijakan pajak yang terlalu agresif. Demi mengejar penerimaan dan rasio pajak, pemerintah justru memburu wajib pajak kecil.
“Salah satu penyebab turunnya daya beli masyarakat adalah kebijakan pajak yang memang semakin agresif. Terlebih pasca tax amnesty dengan dalih memperbesar penerimaan dan tax ratio, pemerintah memburu wajib pajak kecil. Ini seperti berburu di kebun binatang,” ujar Bhima, Kamis (28/9).
Berdasarkan laporan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, realisasi penerimaan pajak hingga akhir Agustus 2017 baru mencapai Rp 686 triliun atau 53,5% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan 2017 sebesar Rp 1.283,6 triliun.
Di sisi lain, beberapa sektor usaha mengalami pelemahan, ritel misalnya. Berdasarkan Indeks Penjualan Riil (IPR) yang dilakukan Bank Indonesia (BI), hasil survei penjualan eceran pada Juli 2017 mengalami penurunan 3,3% year on year (yoy), lebih rendah dari bulan sebelumnya yang tumbuh 6,3% (yoy).
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, konsumsi rumah tangga pada kuartal kedua 2017 hanya tumbuh 4,95%, lebih lambat dibandingkan kuartal dua 2016 yang tumbuh 5,02%.
Menurut Bhima, beberapa kebijakan pemerintah untuk menyasar wajib pajak kecil antara lain wacana pengurangan Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang saat ini sebesar Rp 4,5 juta/bulan atau Rp 54 juta/tahun. Selain itu, pajak selegram dan e-commerce akan berpengaruh pada pada konsumsi masyarakat.”Ini pasti berpengaruh ke dunia usaha. Kalau masyarakat malas belanja, ujungnya ritel juga lesu,” ujarnya.
Bhima mengatakan, pemerintah juga sangat mudah melemparkan wacana beberapa kebijakan pajak ke publik meskipun kajiannya belum matang. Hal tersebut membuat masyarakat bingung dan was-was.
“Masalah konsep pajak belum jelas, yang awalnya ingin menyasar wajib pajak kakap juga tidak berhasil, sekarang mau incar wajib pajak kecil. Repot juga. Padahal masyarakat di bawah kondisi keuangan sedang sulit,” jelasnya.
Menurutnya, kegagalan pemerintah menyeret pengemplang pajak kakap justru membuat masyarakat menengah ke bawah resisten terhadap petugas pajak. Bahkan dia mengkhawatirkan akan semakin banyak transaksi ekonomi tanpa pelaporan pajak.
“Yang saya khawatirkan akan marak lagi underground economy alias transaksi ekonomi tanpa pelaporan pajak. Beli motor atau mobil tanpa ganti nama misalnya. Atau jual beli rumah dan tanah tanpa ke notaris untuk lari dari pajak. Semakin agresif pajak menyasar wajib pajak kecil, semakin banyak penghindaran pajak atau tax evasion,” tambahnya.