Oleh: Hj. Ade Yasin, SH, MH
(Calon Bupati Bogor 2018)
Data demografi Indonesia menunjukkan jumlah pemuda Indonesia dengan rentang usia 16-30 tahun, sebanyak 61,8 juta orang. Secara kuantitas angka tersebut sangat besar potensi dan resikonya. Oleh sebab itu butuh navigasi agar potensi pemuda tidak salah kaprah dan salah urus.
Pemuda saat ini disebut sebagai Generasi Milenial. Cara berpikir pemuda milenial berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya. Pemuda milenial merupakan generasi yang adaptif dengan kemajuan teknologi. Semakin banyak pemuda masa kini yang gemar melakukan terobosan, tidak berpikir linier, tidak menyukai jebakan rutinitas dan monoton.
Beragam media sosial menjadi sarana untuk menyatakan dan melakukan apa saja, menjadi tambatan para pemuda milenial untuk memanfaatkannya. Tentu saja yang diharapkan adalah memanfaatkan media sosial yang positif dan produktif.
Kita tentu bangga dengan prestasi para pemuda seperti: Evita Nuh (pegiat fashion blogger yang telah menarik perhatian industri mode dunia), Jim Geovedi (pakar keamanan teknologi informasi), Rio Haryanto (pebalap Formula 1 pertama Indonesia), Joey Alexander Sila (pianis Indonesia pertama yang masuk 200 chart Billboard AS), Fery Unardi (pendiri Traveloka, situs pemesanan online penerbangan dan akomodasi teratas di Indonesia dengan 7,5 juta pengunjung per bulan).
Selain itu ada Maria Tri Sulistiyani (pegiat Papermoon Puppet Theatre yang menembus pentas dunia di berbagai negara), atau para pebulutangkis yang gigih mempertahankan supremasi dan para pesebakbola nasional yang berkiprah di berbagai klub di dunia. Belum lagi Riana Helmi (dokter termuda di dunia berumur 19 tahun, lulusan Fakultas Kedokteran UGM), Grandprix Thomryes Marth Kadja (doktor termuda Indonesia berusia 24 tahun, alumnus S3 Kimia ITB), atau sembilan pemuda Indonesia yang menjadi agen perubahan dan bertemu mantan Presiden AS Barack Obama di Jakarta pada 1 Juli lalu.
Prestasi pemuda di bidang mereka masing-masing telah menginspirasi bahwa pemuda milenial memakai cara-cara kreatif, efektif dan kekinian. Cara-cara yang lebih dekat untuk tetap menanamkan rasa bangga dan cinta pada Tanah Air. Prestasi seperti itu juga memastikan bahwa generasi muda Indonesia adalah generasi yang unggul, hebat, terampil, dan kompetitif.
Kendati demikian pemuda milenial Indonesia juga rentan kerasukan konsumerisme yang boros dan tergantung produk asing. Seperti diketahui, mulai 2020 sampai 2035, Indonesia akan menikmati suatu era yang langka yang disebut dengan “Bonus Demografi”. Dimana jumlah usia produktif Indonesia diproyeksikan berada pada grafik tertinggi dalam sejarah bangsa ini, yaitu mencapai 64 persen dari total jumlah penduduk Indonesia.
Nah, bonus demografi ini ibarat analog pisau bermata dua. Disatu sisi merupakan potensi atau peluang yang sangat strategis bagi sebuah negara untuk dapat melakukan percepatan pembangunan ekonomi. Namun jika salah kelola, maka bukan bonus yang didapat, tetapi malapetaka sosial yang ditimbulkan.
Peringatan Hari Sumpah Pemuda 2017 ini diwarnai dengan kerawanan pemuda milenial yang mengalami ketergantungan berat terhadap akses teknologi digital itu. Sayangnya hal tersebut belum mendongkrak produktivitas dan nilai tambah ekonomi kebanyakan para pemuda. Belanja teknologi informasi dikalangan generasi milenial justru makin boros dan kurang digunakan untuk hal-hal yang produktif.
Hadirnya teknologi digital harusnya menjadikan Indonesia semakin produktif dan berdaya saing. Nyatanya sampai saat ini belum demikian. Teknologi itu baru digunakan untuk hal-hal yang konsumtif. Remaja atau pemuda yang menggunakan akses internet untuk kegiatan inovatif produktif masih langka. Kerawanan generasi milineal ini harusnya menjadi perhatian serius seluruh komponen bangsa.
Kerawanan yang mengintai generasi milenial juga berupa kecenderungan antisosial.
Apalagi sekarang di negeri ini belum ada arah yang jelas terkait dengan pengembangan teknologi informasi dan komunikasi untuk pendidikan. Mestinya teknologi informasi itu bisa mengatasi dampak negatif dari interaksi generasi muda dengan perkembangan zaman. Namun kebijakan nasional pemerintah belum berhasil menjadi wahana untuk membentuk generasi milenial yang sehat dalam berkonektivitas.
Oleh sebab itu, peringatan Hari Sumpah Pemuda (HSP) 2017 yang mengambil tema “Pemuda Indonesia Berani Bersatu”, harus menjadi SDM penggerak bagi kemajuan bangsa. Pemuda tidak boleh menjadi beban sosial yang dipecundangi zaman. Pemuda harus berani bersatu untuk wujudkan kemajuan disegala bidang. Pemuda milenial harus mampu menciptakan economic value sebesar-besarnya di negerinya yang kaya dengan sumber daya. Semoga… (*)