Oleh: Hj. Ade Yasin, SH, MH
(Calon Bupati Bogor 2018)
Menurut Dan O’Donnell (2004), istilah perlindungan anak berarti perlindungan dari kekerasan, pelecehan dan eksploitasi. Artinya perlindungan anak ditujukan bagi penghormatan, perlindungan, dan pemajuan hak setiap anak untuk tidak menjadi korban dari situasi yang merugikan (membahayakan) dirinya. Hak atas perlindungan melengkapi hak yang lain-lain seperti memastikan anak-anak menerima apa yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup, bertumbuh dan berkembang.
Definisi yang sama dinyatakan oleh Save the Children Alliance (2007) bahwa perlindungan anak merupakan langkah-langkah dan pengembangan struktur untuk mencegah dan menanggapi penyalahgunaan, penelantaran, eksploitasi, dan kekerasan yang dapat mempengaruhi kehidupan anak-anak sebagaimana telah diatur dalam Konvensi Hak Anak (KHA), dan instrumen Hukum HAM yang lain, serta hukum nasional suatu Negara.
Kita sepakat bahwa anak merupakan amanah dan karunia Allah SWT sebagai generasi penerus dalam keluarga bahkan bangsa dan negara. Oleh sebab itu maka anak harus mendapatkan perhatian yang lebih serius dari seluruh aspek kehidupan.
Dalam kehidupan manusia, anak merupakan individu yang belum matang baik secara fisik, mental maupun sosial. Akibat dari belum matangnya individu anak, maka sangat dibutuhkan perlindungan penuh dari orang dewasa. Dalam Konvensi Hak Anak (KHA) dinyatakan bahwa yang disebut anak adalah manusia atau seseorang yang berusia di bawah 18 tahun.
Akhir-akhir ini, kekerasan terhadap anak di Indonesia sudah masuk dalam kondisi darurat. Data dari KPAI, ada 218 kasus kekerasan seksual anak pada 2015 kemudian meningkat menjadi 120 kasus pada 2016. Sementara pada 2017 tercatat 116 kasus. Sementara dalam kurun Januari-Maret 2018, KPAI mencatat telah terjadi 16 kasus kekerasan yang menyebabkan anak meninggal dunia.
Di Bogor sendiri, polisi kini tengah menangani 9 kasus kekerasan seksual terhadap anak. Kabar terakhir, ditangkapnya seorang pria berinisial MN (39), warga Situ Gede, Bogor Barat yang diduga melakukan kekerasan seksual terhadap 10 tetangganya yang masih di bawah umur. Ironisnya, MN berprofesi sebagai guru.
Sebulan sebelumnya, atau tepatnya pada 18 Februari 2018, warga Rumpin, Kabupaten Bogor juga dibuat gempar dengan terjadinya dugaan kekerasan seksual yang dilakukan sekelompok anak kecil terhadap seorang anak gadis yang juga masih di bawah umur. Peristiwa yang membuat heboh warga itu dilakukan oleh enam bocah berusia antara 6-8 tahun. Saat ini kasus tersebut dalam penanganan Polsek Rumpin dan Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Bogor.
BERAWAL DARI SEKOLAH
Anak sekarang memang berkembang sedemikian cepat, baik dari aspek fisik maupun psikologis. Pengaruh asupan gizi membuat fisik anak berkembang seperti remaja. Kita akan sangat kesulitan menebak usia anak saat mereka memakai pakaian sehari-hari. Hanya dengan seragam sekolah dapat diidentifikasi anak itu usia SD, SMP, atau SMA. Secara psikologis, anak mudah terpengaruh oleh tontonan di televisi atau pergaulan sehari-hari yang berinteraksi dengan orang dewasa. Tidak jarang terlontar bahasa orang dewasa dalam percakapan anak-anak.
Anak dalam usia sekolah menghabiskan hampir separuh waktunya dalam sehari untuk belajar. Di sekolah anak-anak menjalani kehidupan dengan teman sebaya, berinteraksi dengan segala dinamikanya. Fokus sekolah sebagai ruang pembelajaran tidak lantas membuat sekolah bersih dari perilaku negatif siswa. Alih-alih menjadi tempat positif untuk tumbuh kembang anak, sekolah justru menjadi tempat berseminya kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak. Berdasar data KPAI, persentasenya mencapai 62 persen.
Angka itu menunjukkan fakta yang bertolak belakang, di saat masyarakat berharap sekolah menjadi tempat yang aman bagi anak, tetapi fakta justru memperlihatkan sebaliknya. Guru juga tidak bisa diharapkan mengawasi anak didik dengan maksimal karena interaksi mereka lebih banyak di kelas saat proses belajar mengajar.
Kekerasan seksual terhadap anak juga berjalan seiring dengan berkembangnya konten pornografi di internet. Dengan privatisasi digital, di saat anak-anak kini sudah memegang ponsel pintar, aksesibilitas internet semakin terbuka lebar. Sekolah bisa menjadi tempat bertukar konten digital.
Selain itu, data yang dirilis KPAI juga membeberkan bahwa kejahatan seksual 60% dilakukan orang dekat (teman, anggota keluarga, pengasuh, tetangga), 30% keluarga korban (kakak laki-laki, ayah, paman, dan sepupu), sedangkan 10% dilakukan orang asing. Kedekatan antara pelaku dan korban ini berpotensi membuat pelaporan kekerasan seksual rendah karena dianggap akan membuka aib keluarga.
PENDIDIKAN YANG HOLISTIK
Untuk mencegah pelecehan dan kekerasan seksual, perlu dilakukan dua tahapan, yaitu pencegahan dan tindakan pascakejadian. Untuk pencegahan, pertama, formulasi pendidikan seksual yang tepat untuk anak-anak terus diperbarui guna mencegah maraknya pelecehan dan kekerasan seksual.
Pendidikan seks yang dibangun bukan semata persoalan reproduksi, melainkan juga agama, budaya, dan etika masyarakat terhadap perilaku yang mengarah ke pelecehan seksual, baik verbal maupun nonverbal. Peran guru BK sebagai konselor dituntut lebih besar untuk menindaklanjuti persoalan pelecehan seksual.
Kedua, informasi bahwa perilaku tertentu dapat dianggap sebagai pelecehan seksual disosialisasikan secara masif pada siswa. Ketiga, edukasi pada masyarakat perlu diupayakan sangat maksimal untuk turut memberi andil pencegahan kekerasan tersebut. Informasi bahwa ada lembaga yang membantu masyarakat dalam advokasi korban perlu diketahui masyarakat luas sebagai pendamping pelaporan pada pihak kepolisian.
Sementara untuk tindakan pascakejadian, pertama, siswa perempuan diajarkan berani melaporkan pada guru jika diganggu teman laki-lakinya. Siswa laki-laki dituntut pula partisipasinya untuk juga berani melaporkan jika menemukan peristiwa pelecehan seksual. Kedua, sekolah perlu membuat peraturan yang tegas bagi siswa yang melakukan pelecehan seksual. Ketiga, regulasi dari pemerintah dari sisi hukum juga harus ditegakkan dengan upaya konseling karena terkait dengan masa depan siswa, baik korban ataupun pelaku.
HUKUM YANG SETIMPAL
KPAI menekankan pada efek jera dalam kasus kekerasan terhadap anak. Kejahatan anak yang dilakukan oleh orang terdekat seperti orang tua atau guru, semestinya mendapat hukuman tambahan 1/3 dari ancaman hukuman normal. Saya juga sependapat dengan KPAI. Hukuman yang “setimpal” layak diberikan kepada orang tua atau guru jika mereka pelakunya. Dalam UU Perlindungan Anak No 23 Tahun 2002, ada beberapa pasal pidana pelaku kejahatan terhadap anak. Di antaranya:
Pasal 77
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan diskriminasi dan penelantaran yang mengakibatkan anak menjadi sakit atau penderitaan baik fisik, mental maupun sosial dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000.-
Pasal 82
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dipidana dengan pidana 15 tahun paling singkat 3 tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000.- dan paling sedikit Rp 60.000.000.-
Pasal 83
Setiap orang yang memperdagangka, menjual dan menculik anak untuk diri sendiri ataupun untuk orang lain dipidana paling singkat 3 tahun dan denda paling banyak RP. 300.000.000.- dan paling sedikit Rp. 60.000.000.-
Pasal 89
Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi dan seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 200.000.000.-
Kita sangat berharap sekolah dan lembaga pendidikan menjadi tempat yang aman bagi anak-anak. Kita juga tentu berharap tidak muncul lagi segala bentuk kejahatan seksual. Diharapkan, ketika kejahatan seksual di sekolah dapat dicegah, itu dapat berimbas pula pada pencegahan kejahatan seksual di masyarakat. (*)