Oleh: Hj. Ade Yasin, SH, MH
(Calon Bupati Bogor 2018)
Isra Mi’raj adalah perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Masjid al-Haram di Makkah ke al-Aqsha di Yerusalem. Kemudian, Rasulullah melanjutkan perjalanannya menuju Sidratul Muntaha untuk menerima perintah salat dari Allah SWT. Peristiwa ini terjadi pada tahun 621 M atau pada malam 27 Rajab tahun ke-10 kenabian.
Perjalanan yang ditempuh dalam satu malam itu disebut-sebut sebagai pelipur lara untuk Rasulullah SAW yang ditinggal wafat dua orang yang paling dicintainya, istrinya, Khadijah, dan pamannya, Abu Thalib.
Saat Isra Miraj terjadi, Rasulullah sedang menginap di rumah Ummu Hani, putri Abu Thalib. Ketika itu, Rasulullah dan keluarga Ummu Hani melaksanakan salat berjamaah. Pada malam harinya Rasul mengunjungi Kakbah. Karena mengantuk, dia tertidur di Hijir Ismail. Pada saat itulah, Jibril mendatanginya hingga tiga kali dan mengajak sang Nabi pergi. Isra Mi’raj pun dimulai.
Nabi Muhammad bangkit dan berdiri di samping Jibril. Malaikat pembawa wahyu ini mengajaknya menuju pintu masjid. Di sana terlihat seekor buraq, hewan berwarna putih, seperti peranakan antara kuda dan keledai dengan sayap di sisi tempat menggerakkan kakinya. Langkahnya sejauh mata memandang. Rasulullah dan Jibril menunggangi buraq.
Bersama Jibril, Rasulullah melakukan perjalanan ke utara Yasrib dan Khaybar hingga ke Yerusalem tepatnya Masjid al-Aqsha. Kemudian, beliau bertemu para nabi pendahulunya:Ibrahim, Musa, Isa, dan nabi-nabi lainnya. Ketika salat di Baitul Maqdis, seluruh nabi menjadi makmum Rasulullah.
PERINTAH SALAT
“SALAT pada waktunya, as-shalatu ‘ala waqtiha,” demikian Rasulullah SAW menjawab ketika Abdullah bin Mas’ud bertanya, ”Amal apa yang paling Allah cintai?”
Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari ini, Muhammad bin Abdullah juga menyebutkan dua amal lainnya, yaitu berbakti kepada orang tua dan berjihad di jalan Allah.
Ketiga amal paling dicintai Allah ini selayaknya menjadi renungan kita memperingati Isra’ Mi’raj. Mengapa salat paling luhur?
Rasulullah SAW menempatkan salat dan waktu dalam satu garis kedudukan yang mulia. Menjadikannya pasangan yang tak terpisahkan. Lihatlah betapa ia dalam doa iftitah menyatukan salat dan segala ibadah lain dengan hidup dan mati dalam ikatan keberserahan kepada Allah semata.
“Inna shalatii wa nusukii wa mahyaaya wa mamaatii lillahi rabbil ‘aalamiin, sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, matiku, hanya untuk Allah, Tuhan semesta.”
Rentang antara hidup dan mati itulah waktu bagi manusia di dunia, yang kita sebut usia. Dan di sepanjang usia itu, salat dan ibadah diwujudkan sebagai penghambaannya kepada Allah.
Jelas di dalam Q.S. Az-Zariyat: 56, ”Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu.” Oleh karena itu, meski waktu salat fardhu telah diatur sedemikian rupa, bukan berarti ada celah waktu untuk tidak dalam keadaan salat.
Dengan selalu dalam keadaan salat, niscaya siapa pun terjaga dari sikap suka berkeluh-kesah dan sifat kikir. Tidak lalai ia di dalam salat, sebagaimana QS. Al-Ma’un: 4-5, sehingga ia tidak termasuk orang-orang salat yang celaka.
Momentum Isra’ Mi’raj sangat baik untuk membaca kembali pesan-pesan kesalehan personal dan sosial yang ternyata berporos pada salat.
QS Al-Ma’arij di ayat 19-21 menyebutkan, “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila mendapat kebaikan ia amat kikir. Namun, Allah menjaga ia yang menjaga salat dan menjadikan sabar serta salat sebagai penolong”. (*)