Bogordaily.net – EVOS Legends, nama yang lekat dalam sejarah kompetitif Mobile Legends di Indonesia, kembali menuai sorotan—bukan karena kejayaan, melainkan keterpurukan. Musim ke-15 MPL ID mencatat salah satu fase terburuk dalam kiprah mereka, dengan hasil mengecewakan: gagal melaju ke babak playoff untuk keempat kalinya.
Kekecewaan ini terasa lebih dalam karena ekspektasi terhadap EVOS sangat tinggi di awal musim. Perekrutan dua pemain bintang, Hengky “Kyy” dari Bigetron Alpha dan Albert dari ONIC, membangun optimisme baru di kalangan penggemar. Keduanya dikenal luas dalam dunia MLBB, bukan hanya karena prestasi, tapi juga karena chemistry yang terbentuk sejak lama dalam persahabatan mereka bersama AE Pai—dikenal publik sebagai “Trio Prot Prot.”
Optimisme kian menguat karena sejarah juga berpihak. EVOS selama ini dikenal gacor saat tampil di musim ganjil. Kalimat “EVOS mode season ganjil” menjadi semacam mantra di kalangan fans, mengacu pada performa hebat mereka di Season 11 dan 13. Namun musim ini justru menjadi pengecualian menyakitkan—EVOS tercecer di papan bawah dan gagal mencicipi atmosfer playoff.
Padahal, leg pertama musim ini menunjukkan sinyal positif. EVOS mampu bersaing di papan atas, bahkan sempat menempati posisi ketiga klasemen. Namun, memasuki leg kedua, grafik performa menurun drastis. Puncaknya adalah absennya Depezet, salah satu pemain kunci yang dinonaktifkan karena dugaan kasus asusila dengan penggemar.
Insiden ini tak hanya mencoreng nama tim, tapi juga merusak stabilitas internal.
Dampaknya terlihat nyata. Dalam beberapa pertandingan penting, EVOS kerap kehilangan momentum. Saat melawan Bigetron Alpha, misalnya, mereka berada dalam posisi unggul, namun terlalu memaksakan penyelesaian permainan dan akhirnya harus menelan kekalahan. Hal serupa terjadi ketika melawan Liquid ID—blunder dari Kyy menjadi titik balik yang menghancurkan peluang kemenangan.
Perubahan line-up pun dilakukan. Branz dimasukkan untuk menggantikan Erlan di posisi Goldlane, dengan harapan bisa memperkuat sisi serangan. Namun, pergantian ini juga tak memberikan hasil yang diharapkan. Justru terlihat ketimpangan antar-role dan kurangnya koordinasi di lapangan. Hingga pekan kedelapan, EVOS masih punya satu peluang terakhir: mengalahkan ONIC. Tapi harapan itu kandas setelah tumbang 0-2 tanpa perlawanan berarti.
Kegagalan EVOS bukan hanya soal strategi atau eksekusi mekanikal. Ada satu hal mendasar yang tampak hilang—komunikasi. Dalam ranah esports profesional, komunikasi bukan hanya menyampaikan informasi, tetapi menyatukan visi, menumbuhkan trust, dan membuat keputusan cepat di bawah tekanan.
Sepanjang musim, permainan EVOS kerap terlihat tidak sinkron. Eksekusi inisiasi yang tidak kompak, rotasi yang tumpang tindih, dan pengambilan keputusan yang tidak koheren menjadi indikasi lemahnya komunikasi tim. Ketika pemain inti harus diganti, seperti absennya Depezet dan penurunan performa Erlan, pola komunikasi pun terganggu. Dalam banyak momen, EVOS seperti tim yang bermain bersama secara teknis, tapi tidak terhubung secara emosional maupun taktis.
Reaksi dari komunitas pun beragam. EVOS Fams meluapkan kekecewaan di media sosial—mulai dari kritik keras terhadap manajemen, tuntutan evaluasi besar-besaran, hingga spekulasi soal masa depan tim. Namun di balik itu, tetap ada suara harapan agar EVOS bisa bangkit dengan wajah baru yang lebih solid, baik dari sisi strategi maupun chemistry internal.
Para analis dan caster juga menyoroti lemahnya teamwork sebagai akar persoalan. Chemistry yang diharapkan dari pemain-pemain top seperti Albert dan Kyy tak kunjung terbentuk. Bukan karena kurangnya kemampuan, melainkan karena sistem yang belum menyatukan semua elemen tim secara menyeluruh.
Meski musim ini penuh luka, bukan berarti EVOS Legends tak bisa bangkit. Justru inilah momen penting untuk melakukan refleksi menyeluruh. Komunikasi internal harus menjadi prioritas dalam proses rebuilding—bukan hanya lewat rotasi pemain, tetapi juga lewat peran aktif pelatih, analis, hingga psikolog tim.
Esports hari ini tak cukup hanya mengandalkan mekanik. Mental, hubungan antar-pemain, dan sistem komunikasi yang kuat menjadi fondasi tim juara. EVOS Legends, dengan sejarah dan basis penggemar yang besar, masih punya ruang untuk kembali ke jalur kemenangan—asal mereka mau membenahi apa yang selama ini hilang: kepercayaan dan keterhubungan.
Musim ke-15 mungkin menjadi akhir dari sebuah bab, tapi bukan akhir dari cerita. Karena dalam dunia kompetitif, kegagalan bukan sekadar kekalahan—ia adalah panggilan untuk tumbuh lebih kuat, lebih padu, dan lebih berani.
Ruth Aurelia Caroline
Mahasiswi Komunikasi Digital dan Media, Sekolah Vokasi IPB