Bogordaily.net – Sayyidah, mahasiswi asal Bogor yang dievakuasi dari Iran ini sedang ditunggu ibundanya yang tak henti menangis.
Ini bukan kisah heroik. Tapi kisah seorang ibu yang gelisah, dari sebuah desa sunyi di Kemang, Bogor.
Tentang anak gadisnya, Sayyidah, yang terseret gelombang panas geopolitik Iran.
Desa Bojong. Tidak banyak yang mengenalnya. Tapi dari desa itu, lahir satu nama yang kini berhembus di tengah konflik Iran: Sayyidah.
Seorang perempuan muda, calon doktor, yang sejak lima tahun lalu menggantungkan cita-cita di langit Teheran.
Ia belajar di Universitas Ahlul Bait, universitas yang namanya mungkin tidak dikenal oleh kebanyakan orang Indonesia.
Tapi bagi mereka yang menekuni studi Islam—terutama mazhab Syiah—nama itu seperti Harvard di Timur Tengah.
Dan sekarang, di tengah dentuman krisis dan saling serang antara Iran dan Israel, Sayyidah mahasiswi asal Bogor itu dievakuasi.
Ibunya, Maryamah. Perempuan 61 tahun yang lebih banyak bicara dengan hatinya, dibanding mulutnya.
Ia menunggu kabar dari anaknya sambil menahan cemas. Sambil terus menyapu halaman. Sambil menanak nasi.
“Sekarang sudah di Baku. Sudah dievakuasi,” katanya, Kamis pagi kemarin.
Dengan suara yang pelan. Dengan mata yang belum lepas dari bayang-bayang kecemasan.
Sayyidah, anak ketiga dari lima bersaudara. Anak perempuan. Perempuan tangguh.
Bukan hanya sedang kuliah, tapi juga sedang menyelesaikan disertasinya. Tinggal beberapa bulan lagi.
“Awal 2026 selesai,” kata ibunya. Tapi kini, semuanya kabur. Kampusnya belum tentu buka. Teheran bukan tempat yang aman.
Ibunya hanya bisa menyampaikan harapan. Harapan agar kuliah itu bisa diteruskan secara online.
Sebab tidak ada jalan kembali ke Iran. Setidaknya, untuk sekarang.
Sayyidah bukan satu-satunya mahasiswa Indonesia di Iran. Ia berada dalam gelombang terakhir yang dievakuasi lewat Baku, Azerbaijan. Sebanyak 31 mahasiswa lainnya juga ikut.
“Katanya hari ini check out dari hotel, nanti siang terbang. Mudah-mudahan kebagian tiket,” ucap Maryamah lagi.
Kalimat itu tidak selesai dengan yakin. Tapi penuh harap.
Sayyidah dulu lulusan UIN. Di Teheran, ia lanjut sampai S3. Disertasinya sudah mulai ia tulis. Dan meskipun belum selesai, beberapa kampus di Indonesia sudah mulai meliriknya.
“Kalau pulang nanti, dia akan bantu mengajar di UIN. Bahkan pesantren-pesantren juga sudah banyak yang minta,” kata sang ibu.
Barangkali itu yang membuatnya kuat. Bahwa masih ada yang menunggunya pulang. Bukan hanya ibunya, tapi juga murid-murid yang belum ia kenal.
Maryamah mengakhiri percakapan dengan satu kalimat. Kalimat yang biasa kita dengar di pengajian, di langgar, atau di ujung sujud:
“Mudah-mudahan dia pulang dalam keadaan sehat, bisa sukses S3-nya, dan barokah rezekinya.”
Sebuah harapan dari seorang ibu di Bogor, untuk anaknya yang masih melayang di atas konflik dunia.***