BOGOR DAILY-Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon mempertanyakan kredibelitas lembaga-lembaga survei politik di Indonesia saat menggelar quick count (hitung cepat) hasil Pilkada serentak 2018.
Tanpa menyebutkan lembaga survei yang dimaksud, Fadli menilai ada selisih angka yang berbeda jauh dari hasil survei yang dirilis sebelum pilkada dengan hasil quick count.Perbedaan juga terdapat antara quick count dengan real count KPU.
Hal ini disampaikan Fadli melalui akun Twitter pribadinya, @fadlizon pada Sabtu (30/6/2018). Ia mencontohkan pada kasus Pilkada Jawa Barat dan Jawa Tengah.
“Untuk melindungi kepentingan publik, keterlibatan lembaga survei dalam pilkada dan pemilu perlu diatur kembali,” kata dia.
Lembaga survei di Indonesia diminta untuk tidak mendapatkan keuntungan finansial dari partai politik atau kandidat tertentu. Menurutnya, beberapa lembaga survei di Indonesia kerap merangkap sebagai konsultan politik calon tertentu.”Sudah menjadi rahasia umum lembaga survei sering merangkap menjadi konsultan politik dari kandidat yang berlaga, baik dalam pilkada, pemilu, maupun pilpres,” jelas dia.
“Padahal, publikasi lembaga survei bisa mempengaruhi preferensi masyarakat. Menurut saya, soal-soal semacam ini tak bisa diserahkan pada kode etik semata,” Fadli menambahkan.
Bagi Fadli, di Indonesia tidak ada aturan yang memadai untuk melindungi kepentingan publik dari kemungkinan terjadinya manipulasi terselubung oleh lembaga-lembaga survei.
Lebih jauh Fadli mengatakan, sebelum Pilkada serentak 2018 berlangsung pada 27 Juni, banyak lembaga survei yang merilis elektabilitas pasangan yang diusung Partai Gerindra Sudrajat – Ahmad Syaikhu berada pada urutan ketiga, dengan angka sekitar 10 persen.
Namun dari hasil hitung cepat dan perhitungan sementara KPU, pasangan Sudrajat – Syaikhu terbukti bisa meraih suara di atas 28 persen.”Meleset ratusan persen,” tegas Fadli.
Tidak hanya di Jawa Barat, lembaga survei yang merilis elektabilitas pasangan cagub dan cawagub Jawa Tengah Sudirman Said dan Ida Fauziyah—yang diusung Partai Gerindra—di bawah 20 persen juga dipertanyakan.
“Padahal, hasil hitung suara riil sementara ini, pasangan ini melampaui angka 40 persen. Jurang akurasinya jauh sekali,” katanya.
Ia menyebut publik sudah tertipu oleh hasil survei yang dirilis sejumlah lembaga sebelum Pilkada 2018 berlangsung. Ia khawatir lembaga survei di tanah air dijadikan kampanye atau alat politik terselubung pasangan calon tertentu.
“Mereka tak lagi independen. Bahkan bagi kandidat yang ‘dikecilkan’ hasil survei, seperti pernah diakui Sudirman Said, itu merupakan sejenis ‘teror’,” katanya.
Selanjutnya Fadli menyinggung Pilkada Jakarta 2017 lalu. Sebelum pemilihan, pasangan penantang petahana, Anies Rasyid Baswedan dan Sandiaga Salahuddin Uno, selalu di bawah dari pasangan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dengan Djarot Saiful Hidayat. Tetapi fakta yang terjadi Anies – Sandi mampu mengalahkan petahana.
“Ini yang saya sindir, jangan-jangan ramalan dukun bisa lebih tepat dibanding lembaga survei, saking jauh melencengnya prediksi survei. Mereka mengaku ilmiah, tapi hasilnya seperti main-main,” jelas Fadli.
Wakil Ketua DPR dari Gerindra itu menerangkan, keberadaan lembaga survei politik hanya diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Perppu Pilkada, Undang-Undang Nomor 7 tentang 2017 tentang Pemilu, serta Peraturan KPU Nomor 10 tahun 2018. Fadli menganggap isi dari aturan tersebut sangat normatif.
“Lembaga survei yang ingin mempublikasikan survei Pilkada harus mendaftar ke KPU, wajib punya badan hukum, menyerahkan surat pernyataan tak berpihak, dan ketentuan administratif sejenisnya,” katanya.
Fadli menjelaskan, Pasal 131 ayat (3) UU No 1/2015 memang ditegaskan bahwa publikasi lembaga survei tak diperbolehkan melakukan keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu calon. Hal ini juga disebutkan dalam Pasal 28 ayat (3) PKPU No. 10 tahun 2018.
“Masalahnya bagaimana mungkin lembaga survei tak berpihak, jika mereka juga merangkap jadi konsultan politik yang bekerja untuk menyukseskan kepentingan partai atau kandidat tertentu?,” katanya. “Itu kan aneh dan kontradiktif. Ini seperti pengacara yang membela klien,” lanjutnya