BOGORDAILY – Sejak dimulai Jumat (20/03) lalu, pro dan kontra tes cepat dengan menggunakan metode pemeriksaan darah untuk melakukan penapisan kasus-kasus Covid-19 di Indonesia, terus berlanjut. Para ahli menganggap langkah tersebut tidak efektif dalam membatasi penyebaran virus corona.
Juru bicara pemerintah untuk penanganan virus vorona, Achmad Yurianto, menjelaskan bahwa memang tes ini dilaksanakan berbasis penelusuran kontak pasien dan tidak diarahkan untuk menegakkan diagnosis.
Ia mengatakan tes ini bertujuan mendeteksi antibodi dalam tubuh dan merupakan sebuah langkah awal.
“Oleh karena itu, maka yang kita lakukan, manakala hasilnya negatif, meskipun tanpa keluhan, kita menyarankan untuk jaga jarak.”
- Virus corona: Gejala, pencegahan, dan penyembuhan penyakit ini menurut dokter
- Apa yang terjadi pada tubuh jika terinfeksi virus corona?
- Virus corona: Bisakah kita terkena Covid-19 dua kali?
Bagaimana metode tes?
Jika orang yang hasil tesnya negatif namun kemudian mengalami gejala, maka ia akan disarankan untuk karantina diri sebelumnya melakukan tes lagi setidaknya tujuh hari sejak tes sebelumnya.
“Manakala di dalam tesnya ditemukan positif, maka ini adalah dcidentifierance, tuntunan bagi kita untuk melakukan pemeriksaan antigen dengan menggunakan metode yang sudah kita ketahui yaitu real time PCR. Ini yang kemudian dipakai dasar di dalam kaitan dengan menegakkan diagnosis,” kata Yurianto.
Ia menambahkan bahwa tidak semua pasien positif akan dirawat di rumah sakit dan dapat melaksanakan isolasi di rumah masing-masing.
“Apabila kemudian hasil positif dari PCR dan kemudian diyakini bahwa tidak bisa untuk melakukan isolasi diri di rumah, karena ada gejala panas, batuk, sesak, atau kita temukan faktor-faktor penyakit lain sebagai co-morbid, misalnya penderita hipertensi, diabet, kelainan jantung, gagal ginjal kronis – maka kelompok inilah yang harus dilakukan isolasi di rumah sakit,” kata Yurianto.
Pasien yang memerlukan perawatan intensif akan dirujuk ke rumah sakit rujukan.
Apakah ‘rapid test’ efektif’?
Sementara itu, Ahmad Utomo, pakar biologi molekuler dari Stem Cell and Cancer Institute, mengkritik pengandalan metode tes cepat itu yang ia nilai kurang efektif dalam membatasi penyebaran Covid-19.
Utomo menjelaskan bahwa tes itu merupakan metode yang sangat sederhana sehingga dapat menghasilkan “negatif palsu”. Ia menjelaskan bahwa kelemahan terletak pada masalah waktu yang dibutuhkan untuk mendeteksi antibodi.
Utomo mengatakan bahwa ‘rapid test’ kalah cepat dalam mencegah penularan virus.
“Rapid test ini sebetulnya hanya bisa mendeteksi antibodi. Cuma, antibodi ini munculnya kan terlambat, sementara virusnya sudah masuk duluan. Jadi kita kalau misalnya mau screening, menggunakan rapid test yang murah ini, itu ya sudah terlambat sebetulnya,” kata Utomo.
“Karena apa? Dia kan terdeteksinya kan mungkin bisa seminggu, 10 hari, bisa dua minggu setelah terpapar virus kan. Sementara orang ini dalam seminggu pertama udah ke mana-mana sambil bawa virus. Bahayanya di situ,” tambahnya.
- Ilmuwan ungkap cara sistem kekebalan tubuh perangi Covid-19
- Penanganan virus corona ala Korea Selatan layak jadi panutan?
- Kisah para pekerja yang tak punya hak kerja dari rumah, ‘kalau belum meninggal diminta terus kerja’
Menurut data penelusuran kontak pasien oleh pemerintah, antara 600.000 sampai 700.000 orang diperkirakan memiliki risiko tinggi terpapar virus corona. Mereka, berserta tenaga medis yang berada di garda depan penanganan Covid-19 adalah kelompok prioritas yang dapat melaksanakan tes cepat.
Pemerintah menyatakan telah “menyiapkan satu juta kit untuk tes massal”.
Alat tes cepat telah disebar ke sejumlah provinsi dan pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah setempat.
Jakarta, pusat penyebaran kasus, tengah menjalani tes sejak Jumat.
Bagaimana pelaksanaannya?
Provinsi Jawa Barat, yang saat ini merupakan wilayah kedua paling terdampak, mulai melaksanakan tes pada hari Rabu (25/03).
Sebelumnya, Gubernur Ridwan Kamil mengatakan pihaknya sudah terima kurang lebih 20.000 rapid test kit yang sudah dibagikan ke 27 daerah.
Ia menjelaskan bahwa orang-orang yang akan dites dibagi ke dalam tiga kategori berdasarkan tingkat risiko terpapar. Prioritas pertama adalah kategori A, atau yang paling berisiko.
Mereka termasuk orang yang berstatus ODP (Orang Dalam Pemantauan), PDP (Pasien Dalam Pengawasan), dan mereka yang berada dalam lingkaran keluarga, pertemanan, dan tetangga dari pasien, juga para tenaga medis.
Tes bagi Kategori A dilaksanakan di fasilitas-fasilitas kesehatan setempat. Para peserta dapat menerima hasilnya dalam waktu 15 menit.
Jabar juga akan melakukan tes dengan konsep drive-thru yang dilakukan bagi Kategori B dan C. Pemprov saat ini tengah berkoordinasi dengan kabupaten/kota terkait sarana-prasarana, alat, maupun tenaga kesehatan yang akan bertugas melaksanakan tes tersebut.
Lokasi yang dipilih diisyaratkan memiliki lapangan parkir yang luas, akses yang mudah, dan lokasi yang berjauhan dengan pemukiman warga. Karena itu, tes masif ini akan digelar di Stadion Si Jalak Harupat Kabupaten Bandung dan Stadion Patriot Candrabaga, Kota Bekasi.
Gubernur Ridwan Kamil mengatakan golongan Kategori B adalah mereka-mereka yang profesinya menuntut interaksi sosial yang massif, seperti wartawan, petugas transportasi di bandara dan terminal, para ulama, para pejabat publik yang memberi layanan publik dan para pedagang pasar.
Sementara Kategori C adalah mereka yang bergejala apapun penyakitnya, tapi karena gejalanya mirip Covid-19. Dengan catatan ada keterangan dari fasilitas kesehatan dan bukan diagnosis mandiri.
Warga Jawa Barat yang merasa masuk dalam kategori B dan C bisa mendaftar melalui aplikasi pikobar (Pusat Informasi dan Koordinasi Covid 19 Jawa Barat) atau ke dinas kesehatan di wilayahnya masing-masing.
“Kami berharap dengan hasil tes masif ini, yang berdasarkan undangan, analisa, itu akan menghasilkan peta persebaran yang terukur di hari Jumat atau Sabtu, sehingga hasilnya kita bisa mengambil keputusan apakah bekerja dan bersekolah di rumah dilanjutkan, menambah satu minggu atau bisa kembali lagi ke sekolah, tempat bekerja dengan tetap menjaga jarak,” kata Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, saat jumpa pers di Gedung Pakuan, Selasa (24/03).
Di Bandung, sekitar 300 orang tenaga kesehatan dan karyawan Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Hasan Sadikin atau RSHS Bandung menjalani tes masif COVID-19, Rabu (25/03).
“Hari ini, kami memeriksakan prioritas pertama, yaitu para dokter, terdiri dari dokter penyakit dalam, dokter anestesi, dokter patologi klinik, dan dokter anak, juga dokter peserta didik PPDS (Program Pendidikan Dokter Spesialis) masing-masing KSM (Kelompok Staf Medis),” kata Direktur Medik & Keperawatan RSHS Bandung, Nucki Nursjamsi Hidayat, kepada wartawan Yulia Saputra yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
“Lalu diikuti para perawat, perawat dari Ruang Rawat Inap Khusus, dari Isolasi Instalasi Gawat Darurat, dari Isolasi Instalasi Rawat Jalan.
“Ditambah juga tenaga non-nakes dari driver. Ada tiga driver yang bantu mobilisasi pasien positif COVID-19. Satpam juga mengamankan (pasien), close contact. Kemudian petugas forensik yang memandikan jenazah terkonfirmasi positif (COVID-19). Juga petugas penunjang lain seperti Tata Usaha di area Ring 1, termasuk cleaning service,” tambahnya.