Saturday, 23 November 2024
HomeKabupaten BogorLihat Nih, Aksi Mahasiswi Cantik Unpak Bogor Orasi Tolak Omnibus Law di...

Lihat Nih, Aksi Mahasiswi Cantik Unpak Bogor Orasi Tolak Omnibus Law di Tugu Kujang Bogor

BOGOR DAILY – Aksi tolak UU Cipta Kerja di Tugu Kujang mahasiswa Universitas Pakuan Bogor jadi perhatian. Penyebabnya seorang mahasiswi cantik maju ke depan menyampaikan orasi secara menggebu-gebu.

Berkaos hitam-hitam menenteng mikrofon, berdiri dihadapan para demonstran. Dengan suara lantang menyampaikan beragam persoalan Omnimbus Law.

“Negara kita sedang tidak baik-baik saja. Benar tidak kawan-kawan,” tanyanya kepada sejumlah massa yang mengelilinginya.

“Kita berdiri disini bukan hanya semata-mata berdiri kita memilikI tujuan untuk mensejahterakan rakyat,” ucap wanita tersebut dalam orasinya.

Menurutnya berpendapat persoalan Undang-Undang Omnibus Law atau Cipta Kerja ini membuktikan bahwa negara Indonesia sedang tidak baik-baik saja.

https://www.instagram.com/p/CGUghaxHO8k/?igshid=134afa7dmuhvc

Dalam aksi ini Keluarga Mahasiswa Universitas Pakuan mengaku 2020 menjadi tahun yang sangat sulit bagi bangsa Indonesia, di tengah pandemi virus corona terselip masalah dan kebijakan pemerintah yang justru menyengsarakan rakyat.

Masalah dan kebijakan pemerintah yang mereka garis bawahi sebagai kecacatan ada 3 masalah dalam Tahun 2020 ini:

1. Penanganan Covid-19 yang Amburadul
Dalam penanganan Covid-19, pemerintah terlalu menyepelekan masa pandemi ini dengan data mulai dari bulan Maret hingga Oktober 2020 tercatat ada kasus positif sebanyak 328.952 dan total ada 11.765 orang meninggal dunia akibat Covid-19. Dengan data tersebut Indonesia tercatat sebagai negara dengan kasus kematian corona terbanyak ketiga di Asia. (sumber: Worldmeters).

Selain itu, Sejak awal adanya Covid-19, Pemerintah lebih memilih langkah PSBB untuk menjaga stabilitas ekonomi bukan malah mementingkan kesehatan rakyatnya yang mustinya sedari awal diberlakukan lockdown atau karantina wilayah yang warganya dijamin negara.

Terakhir, Pemerintah juga tidak siap dalam penanganan virus corona. Hal ini terbukti dengan minimnya sarana dan prasarana rumah sakit yang menampung pasein positif Corona.

Data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 menunjukkan ventilator hanya dimiliki oleh 60% rumah sakit di Indonesia. terbanyak di Jawa Barat ada sekitar 1.200 unit, sedangkan paling sedikit di Maluku (22 ventilator). Jumlah rata-rata ventilator secara kasar, di setiap rumah sakit hanya sekitar 3-4 unit yang amat sangat kurang untuk bisa memenuhi lonjakan pasein. Selain itu, kekurangan tempat tidur menyebabkan rumah sakit berusaha memulangkan pasein non-Covid lebih cepat, yang menyebabkan pergantian tempat tidur yang tinggi. Meningkatnya jumlah pasein yang keluar rumah sakit lebih dini juga dapat membahayakan keselamatan pasein. (sumber: theconversation.com).

2. Omnibus Law

Presiden Joko Widodo mengajukan rencana penerbitan Undang-Undang Cipta Kerja, (20/10/2019). Tak butuh waktu lama bagi pemerintah pusat (Presiden) dan DPR untuk mengesahkan UU tersebut. Senin, (5/10) DPR mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja meski banyak menuai penolakan dari berbagai elemen masyarakat dengan dalih urgensi pemulihan ekonomi dalam masa pandemi.

Tak hanya itu, Perbedaan antara sistem hukum yang dianut Indonesia dan konsep omnibus law, jelas bahwa pemerintah melakukan, meminjam istilah Anggi Abdul Rahman, S.H.—bid’ah yuridis. Dengan disahkannya UU Cipta Kerja, makin menunjukkan bahwa pemerintah mengkhianati hukum itu sendiri dan mengada-ada secara hukum.

Selanjutnya, Undang-Undang Cipta Kerja pun berpotensi memberikan karpet merah untuk investor asing. Bangsa asing diberikan keleluasaan untuk mengelola sumber daya alam dan manusia negara Indonesia, dengan adanya UU ini menciptakan ekosistem investasi yang terbuka.

Tentu, kebijakan pemerintah yang mengesahkan omnibus law adalah sebuah bentuk keberpihakan kepada kapital semata. Bukan mengakomodir aspirasi, bahkan untuk kepentingan rakyat. Hal ini tentu mencederai kedaulatan rakyat sebagaimana telah diamanatkan dalam UUD 1945.

3. Pilkada Serentak

Pemerintah, DPR, dan KPU sepakat bahwa Pilkada serentak (9 Provinsi, 224 Kabupaten, dan 37 Kota) dilaksanakan pada bulan Desember mendatang.

Meski di tengah pandemi virus corona dan banyak mendapat penolakan dari masyarakat. Indikator Politik Indonesia, pada (21/7) merilis hasil survei terbaru mengenai persepsi publik terhadap Pilkada 2020. Salah satu temuannya adalah, 63 persen publik menginginkan Pilkada ditunda karena pandemi Covid-19. Sementara, hanya 34 persen masyarakat yang menginginkan pilkada tetap dilaksanakan di bulan Desember.

Kebijakan ini tentu menimbulkan pertanyaan besar, jika rakyat saja banyak yang menolaknya. Sebenarnya Pilkada ini untuk siapa?, tentu jawabannya adalah untuk memuaskan birahi kekuasaan oligarki yang berdemokrasi. Agenda neoliberalisme tidak cukup dengan disahkannya UU Cipta Kerja, akan tetapi mesti didukung oleh kekuasaan kepala daerah.

Itu merupakan tiga dari sekian banyaknya persoalan pemerintah yang belum terselesaikan, termasuk dengan: kemiskinan, Hak Asasi Manusia, Supremasi Hukum, Lingkungan, Korupsi, Pencaplokan tanah rakyat, Liberasisasi Pendidikan, Kesehatan, Lapangan Pekerjaan, Kesejahteraan, dan segudang masalah lainnya. (Egi)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here