BOGOR DAILY– Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (RAPBD) Perubahan 2017 Kabupaten Bogor membengkak hingga Rp1,083 triliun. Tiga dinas dituding sebagai penyebab anggaran mengalami defisit. Kondisi ini bisa berdampak pada buruknya Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor dalam melayani masyarakat.
Pembengkakan anggaran yang cukup memprihatinkan mengundang perhatian Komite Pemantau Legislatif (Kopel). Seperti diketahui, pada pembahasan RAPBD Perubahan 2017 terjadi peningkatan signifikan pada pos belanja daerah. Pembengkakan dari Rp6,5 triliun menjadi Rp7,7 triliun.
Kenaikan itu pun tidak diikuti naiknya pos pendapatan daerah hingga menimbulkan defisit Rp1,083 triliun. Inilah yang dianggap target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) terancam tak tercapai. Kenaikan paling besar terjadi pada komponen belanja langsung yang mencapai Rp4,45 triliun, naik sebesar Rp958 miliar dari APBD murni Rp3,5 triliun. Sementara komponen belanja tidak langsung juga naik Rp1,39 miliar dari Rp3,063 triliun menjadi Rp3,32 triliun yang disumbangkan naiknya belanja pegawai.
Koordinator Divisi Advokasi Anggaran Kopel Anwar Razak menilai, tingginya defisit ini sudah dapat dikatakan tidak wajar. Sebab, defisit anggaran mencapai 17,8 persen dari pendapatan daerah yang berarti melebihi batas aturan defisit sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 132 Tahun 2016.
“Defisit APBD menurut PMK hanya pada batasan 2,5 persen sampai 5,25 persen. Apabila sudah melebihi batas, maka anggarannya sudah berada di atas batas kewajaran,” katanya.
Menurut dia, PMK pada dasarnya mengatur kemampuan keuangan daerah dalam menanggung kebutuhan belanja. Bila lebih dari hitungan tersebut, maka akan berimplikasi pada naiknya beban keuangan daerah dan mengancam daerah dari lilitan utang di akhir tahun anggaran.
“Implikasi jangka panjang juga mengancam daerah. Defisit yang besar berarti belanja yang jauh lebih besar dibanding besarnya pendapatan daerah. Ini berarti membuktikan kemampuan pendapatan daerah terbatas,” ujarnya.
Sehingga apabila belanjanya sudah di luar kewajaran, lanjut dia, maka utang daerah khususnya pada pihak ketiga akan muncul dan tak dapat terbayarkan pada tahun anggaran ini. Bahkan ini dapat berimplikasi pada beban berkepanjangan hingga terjadinya kebangkrutan daerah.
“Bila utang daerah besar maka akan berimplikasi pada belanja langsung yang semestinya dinikmati masyarakat lewat pelayanan publik seperti layanan kesehatan dan pendidikan,” imbuhnya.
Anwar meyakinkan bagaimanapun implikasi nyatanya bila ini dipaksakan maka pelayanan publik akan semakin memburuk. Sebab belanja langsung yang seharusnya ke publik malah tersedot pada belanja yang tidak terencana dan tidak prioritas.
“Karena nantinya akan digunakan untuk menutupi defisit keuangan daerah. Sekitar 6,265 ruang kelas yang sedang rusak sedang dan berat terancam tidak selesai. Kasus gizi buruk dan gizi kurang terancam tidak dapat dituntaskan. Begitu pula dengan angka kemiskinan yang ditarget RPJMD akan turun hingga lima persen di akhir periode sulit tercapai,” bebernya.
Sementara itu, Sekretaris TAPD di Pemkab Bogor Syarifah Sofiah mengaku akan merumuskan penutupan defisit sebesar Rp1 triliun tersebut. Bahkan, pos belanja langsung paling besar dari tiga dinas, yakni Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) Kabupaten Bogor, Dinas Pendidikan (Disdik) serta Dinas Kesehatan akan dievaluasi kembali.
“Nanti Jumat (hari ini) dilanjutkan penyelarasan pembahasan antara TAPD dengan Badan Anggaran (Banggar). Kita juga akan mengkaji lagi pos belanja milik ketiga dinas itu,” katanya.