Monday, 6 May 2024
HomeBeritaAda Perbudakan di Pabrik Bom Mercon

Ada Perbudakan di Pabrik Bom Mercon

BOGOR DAILY- Komnas HAM membeberkan temuan sejumlah pelanggaran yang dilakukan pihak pabrik petasan PT Panca Buana Cahaya Sukses, Tangerang, Banten. Di antaranya pelanggaran ketenagakerjaan yang memaksa para buruh untuk terus memenuhi kuota produksi dalam sehari.

Komisioner Subkomisi Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM Siane Indriane menyatakan, temuan tersebut didapat setelah pihaknya melakukan investigasi dari sejumlah korban.

“Para buruh dipaksa memproduksi 1.000 pak dalam sehari dengan gaji Rp 50 ribu,” terangnya.

Siane menganggap hal ini seperti perbudakan. Dari wawancara dengan para korban, Siane mendapatkan info bahwa ratusan buruh dipaksa bekerja mulai pukul 08.00 WIB sampai 17.00 WIB dengan waktu istirahat selama setengah jam. “Mereka harus bekerja di tengah suasana panas dan pengap,” terangnya.

Dia mengungkapkan, dari hasil wawancara dengan para korban diketahui jika banyak pekerja di bawah umur. “Pekerja pun banyak perempuan dan anak-anak (di bawah umur-red),” jelasnya

Tak hanya itu, pihaknya menemukan fakta lain jika di bagian pengepakan tidak ada aturan kerja yang jelas bagi para bekerja. “Mereka seperti pekerja borongan lepas. Dalam satu kelompok lima orang, targetnya satu hari 1.000 pak kembang api,” ungkapnya.

Soal tugas bekerja, kata Siane, para pekerja wanita mengemeas kembang api berukuran satu meter menjadi 10 batang dalam satu pak. Mereka ditarget harus selesai 1.000 pak dalam sehari.

“Kalau mereka mencapai target 1.000 pax per hari, mereka masing-masing akan mendapatkan uang Rp 40 ribu per orang. Tapi kalau tidak mencapai target dipotong sampai habis,” jelasnya.

Pelanggaran lainnya, sambung Siane, para pekerja di gudang tersebut tidak ada status yang jelas terkait ketenagakerjaan. “Jadi pola pengelola pabrik merekrut pekerjanya dengan standar siapa saja yang mau silakan masuk. Sistemnya borongan. Tanpa persyaratan kualifikasi. Tanpa pengamanan (safety-red) yang penting target tercapai,” terangnya.

Akibat masalah ini, pihak rumah sakit bingung ketika para korban masuk ke rumah sakit. Di mana para pekeja tidak dilengkapi dengan ID-card pekerja. Ini menjadi salah satu pelanggaran pengelola gudang telah melanggar aturan soal keselamatan pekerja.

“Ini tragedi perbudakan di Indonesia. Status pekerjaan tidak jelas. Pertama, soal keselamatan kerja, karena di sini tidak ada standar itu. Mereka tidak memakai masker, lalu mereka dipaksa bekerja Yang penting datang, teken selesai. Kalau mati, ya perusahaan bisa lepas tangan,” terangnya.

Siane menganggap, pola perekrutan ini yang membuat sulit menghitung berapa jumlah pasti karyawan di gudang tersebut. Apalagi hampir 60 persen orang yang datang adalah warga sekitar yakni Desa Belimbing dan Cengklong, Kecamatan Kosambi.

”Saya menemukan korban terluka kebanyakan perempuan. Mereka juga mengaku tiap hari bisa berubah pekerjanya. Walau dibayar per minggu. Tapi tidak jelas data-datanya itu,” ungkap dia.