Sunday, 26 May 2024
HomeBeritaKrisis Pangan, Jangan salahkan Corona (Bag III-HABIS)

Krisis Pangan, Jangan salahkan Corona (Bag III-HABIS)

Oleh: Nanang Nurhayudi

Persoalan berikutnya yang termasuk klasik adalah bagaimana menjamin ketersediaan sumber air, kemudian bisa disalurkan melalui sistem irigasi untuk mengatisipasi ketersedian air saat kemarau untuk lahan sawah yang belum beririgasi optimal, misalnya dengan sumur, revitalisasi waduk, danau, dan embung yang ada. Memanfaatkan lahan-lahan kering tegalan yang belum optimal untuk mencukupi kebutuhan karbohidrat semisal dengan menanam jenis tanaman seperti singkong, ubi jalar dan sorghum, karena cukup tahan terhadap kekeringan dan setidaknya dapat menjadi cadangan pangan, serta memanfaatkan lahan perkebunan yang potensial untuk ketahanan pangan.

Akan tetapi titik kritis dalam terletak pada mental dan spiritual generasi muda, anak-anak bangsa untuk mengambil peranan secara langsung menjadikan pertanian sebagai “life style” dalam “New Normal Era”. Sudah semestinya kita bersama-sama bangkit dalam kemandirian berswasembada, melepaskan segala tarikan budaya dan gaya hidup lainnya. Sebagaimana dulu pada era Perang Dunia 1, pernah muncul kampanye berkebun untuk memenangkan perperangan atau dikenal dengan istilah “War Gardens for Victory.” Sebuah slogan persuasif terpampang pada poster seorang perempuan berbusana terusan, lengkap dengan serbet merah melingkar di leher.

Tangan kanannya membawa keranjang sayur dan buah, sementara tangan yang lain menggenggam cangkul. Sosok dalam poster menyejajarkan usaha berkebun dengan perjuangan merebut kemenangan di masa perang. Dengan berkebun secara tidak langsung mereka membantu negara menekan dana pangan dan menyelamatkan diri sendiri dari kelaparan tentu saja menyelamatkan Negara dari kemiskianan.

Menarikanya pada akhir tahun 2015 di Indonesia pernah juga terjadi sebuah aktifitas transmigrasi mandiri, dilakukan oleh anak bangsa dari berbagai wilayah dengan bersama-sama “mengorbankan dirinya” untuk merealisasikan swasembada pangan yang merupakan cita-cita luhur. Sekaligus menjawab tantangan acaman global yang akan terjadi pada waktu dekat ini. Pada saat itu sebanyak 12.000 jiwa, terdiri dari kaum muda dan orang tua, laki-laki dan perempuan, tidak dibedakan pada strata sosial, suku, bahasa, budaya dan agama.

Mereka turun ke lahan pertaniannya mencangkul tanah sejengkal demi sejengkal, bersama masyarakat tempatan. Menebar bulir-bulir bebijian dengan harapan terwujudnnya kemakmuran, bagi mereka inilah cara mewujudkan cita-cita untuk menjadikan negeri ini berdaulat akan pangan, sebagai mana dahulu kemakmuran negeri ini dituangkan dalam sebuah narasi agung “gemah ripah loh jinawi adem titi tentrem kerta raharjo” dengan menjadikan Kalimantan sebagai lumbung pangan Dunia.

COVID-19 memang membawa dilema bagi setiap pemimpin negara termasuk di Indonesia, sebuah pilihan yang sama-sama merugikan bagaikan buah simalakama, memilih menenangkan kesehatan atau memenangkan ekonomi. Maka jika pada saat puasa identik dengan menahan hawa nasfu dan kondisi saat ini banyak yang mengatakan kita dalam kondisi perang, tentu bukan perang secara harafiah melainkan perang melawan COVID-19 dan ancaman global.

Godaan dan pertarungan terbesar bagi kita adalah menahan dan melawan diri sendiri dari bujuk rayu hawa nafsu untuk tidak mandiri pangan. Berfokus dalam membangun ketahan pangan adalah pertarungan yang harus dimenangkan dan diperjuangkan oleh seluruh pihak, bukan saja segelintir orang sebagaimana yang dilakukan oleh Eks GAFATAR. Kemandirian pangan, baik dengan membuka lahan pertanian ataupun sekedar berkebun dalam sekala kecil dengan menjalankan urban farming, setidaknya itu adalah bentuk perlawan dan perjuangan agar kita mampu keluar dari ancaman yang menuju jurang kelaparan.

Terlebih lagi, sebagian masyarakat spiritualis mengatakan jika situasi Dunia yang terjadi saat ini, merupakan kondisi kutuk yang diberikan Allah kepada manusia, disebabkan hidup tidak berdasarkan standar-Nya. Jika ini sebuah “sunahtullah”, maka pasti solusinya Allah sendiri yang akan memberikannya. Sebagai mana dalam bahasa hikmah dikatakan disetiap kesulitan selalu ada jalan, Allah memberikan pilihan menerima berkat atau kutuk kepada umat-Nya. Jikalau mereka taat kepada firman Allah dan tetap terpisah dari dosa bangsa-bangsa di sekitar mereka, maka berkat Allah akan turun atas mereka dan menyertai mereka. Pertanyaan berikutnya apakah kita siap dengan solusi yang ditawarkan dari Tuan pemilik Semesta Alam. Tentu jawabannya kembali kepada keimanan kita, karena hal tersebut terasa utopis bagi kebanyakan orang.

Memang keimanan seakan absurd sebab berada pada sisi bathiniah manusia, akan tetapi sejatinya hubungan Tuhan dengan manusia sangat erat dan tidak bisa dilepaskan dengan kesejajaran akan fungsi alam. Maka pilihannya bukan pada memenangkan kesehatan atau memenangkan ekonomi, melainkan memenangkan kemandirian pangan. Kita bisa melihat beberapa negara pengimpor saat ini lebih memilih mencukupkan kebutuhan pangan dalam negerinya ketimbang melakukan perniagaan, sekalipun itu menguntungkan.

 

Patut kita syukuri bahwa alam di mana tempat kita tinggal menyediakan lebih dari pada yang kita butuhkan, maka melalui gerakan pangan mandiri kita bukan saja dapat memenangkan peperangan melawan Covid-19 dan dengan berdulatnya pangan. Akan tetapi sejatinya kita sedang membangun ketauhidan, menyambung ikatan kembali antara Allah sebagai pengatur, Alam sebagai tempat menjalankan aturannya dan Manusia sebagai hamba yang menaati aturanya, atau kebanyak orang mengenal dengan istilah kembali ke fitrah.

Riwayat penulis :

Nanang Nurhayudi, L.C.A, merupakan Alumni IPB M.A.B, dan Pertanian, UNPAD, Pemilik ASIS Quality, dan aktif dalam Urban Farming.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here