Friday, 10 May 2024
HomeBeritaJurus Sakti Jokowi di KTT Leaders Summit on Climate

Jurus Sakti Jokowi di KTT Leaders Summit on Climate

Bogordaily.net – Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim atau “Leaders Summit on Climate” dijadikan momentum Jokowi melakukan negosiasi politik “merawat lingkungan bumi Indonesia” yang ditempati sekitar 271.349.889 jiwa rakyat Indonesia.

Untuk diketahui, ini dibuka secara resmi oleh dan Wakil Kamala Harris. Konferensi ini diikuti oleh 41 kepala negara/kepala pemerintahan/ketua organisasi internasional.

Strategi politik dagang Jokowi kepada para pemimpin dunia ini, ibarat gemulainya tarian khas Solo yang mematikan makluk apa saja saat terinjak kaki sang penari. Mindfulness dalam menyampaikan pikiran dan tuntutannya, gestur Jokowi seperti pembawaan sang penari.

Begitu kiranya analogi dari , berupa padanan untuk menafsirkan langkah negosiasi politik tingkat tinggi Jokowi. Menggunakan narasi secara santun, tetapi menghujam pada pokok masalah hingga membuat para pemimpin dunia masuk dalam perangkap komitmen yang pernah dijanjikan.
Tiga pemikiran pidato politik Presiden Joko Widodo yang disampaikan keseluruh peserta KTT perubahan iklim, pertama, Indonesia sangat serius dalam pengendalian perubahan iklim dan mengajak dunia untuk melakukan aksi-aksi nyata.

Tafsir politik pernyataan Jokowi ini, bisa dimaknai sebagai tindakan “penyodoran rekening tagihan” kepada negara-negara penikmat hasil penurunan laju deforestasi dan kebakaran hutan di Indonesia, sebagai aksi nyata andilnya dalam penanganan perubahan iklim global.

Ilustrasi dengan menggunakan “perbandingan luasan kawasan yang diselamatkan” seakan mengingatkan sekaligus membelalakkan mata para pemimpin dan warga dunia mengenai kesungguhan komitmen yang dilakukan secara nyata pemerintah Indonesia.

“Penghentian konversi hutan alam dan lahan gambut mencapai 66 juta hektare, lebih luas dari gabungan luas Inggris dan Norwegia. Penurunan kebakaran hutan hingga sebesar 82 persen di saat beberapa kawasan di Amerika, Australia, dan Eropa mengalami peningkatan terluas”

Untuk dipahami, bahwa tidaklah mudah, niatan dan keseriusan pemerintah Indonesia saat ini harus menghadapi banyak resiko dan konsekwensi dampak logis-politis. Bahkan, harus jujur diakui ada subyek hukum tertentu yang harus menanggung hingga menjadi korban politisnya.

Dalam praktiknya, realisasi kebijakan pemerintah Indonesia harus berhadapan dengan dalih narasi yang diformulasikan oleh kelompok tehnokrat, akademisi hingga kalangan NGO yang mewakili keyakinan berbasis aliran pemikirannya masing-masing.

Setidaknya ada dua dalih, yang mewakili kelompok “aliran pemikiran developmentalis” dan “aliran pemikiran post modernis berbasis kewahyuan”. Pada ghalibnya, kedua aliran pemikiran tersebut mengemasnya dengan narasi beserta argumentasinya secara ilmiah.

Aliran pemikiran developmentalis meyakini soal “keniscayaan bonus demografi, pemenuhan segala kebutuhan manusia, hingga soal persaingan antar negara demi kedaulatan dan keamanan” warga dan negara bangsanya.

Sedangkan aliran pemikiran post modernis berbasis kewahyuan, juga meyakini kebenaran atas bangunan narasi argumentasinya yang mendasarkan soal “keniscayaan akan kehancuran bumi pada saatnya”.

Masing-masing kelompok membangun narasi pembenarnya dengan pendekatan ilmu dan pengetahuan, maupun data dan fakta subyektif yang meski masih terbuka penafsirannya. Untuk menyatukan perbedaan cara pandang itu, butuh pola pendekatan secara kompromi.

“Menterjemahkah niatan baik dari berbagai kebijakan pemerintah itu praktiknya tidak gampang ditingkat tapak. Dibutuhkan “seorang Tan Malaka milenial” yang mau melakukan bunuh diri kelas sebagai pendamping masyarakat secara utuh”

Kedua, Presiden Jokowi mengajak para pemimpin dunia memajukan pembangunan hijau untuk dunia yang lebih baik. Penggunaan kata “mengajak” ini menjadi “symbol keteladanan negara-bangsa Indonesia”, karena sebelumnya memang melakukan sesuatu secara nyata.

Walau bersifat himbauan, tetapi material pidato politik Jokowi sangat responsif terkait rencana “penyelenggaraan Konvensi Kerangka Perubahan Iklim ke-26 di Inggris untuk hasil yang implementatif dan seimbang”.

Material pidato Jokowi itu, bisa ditafsirkan sebagai “diplomasi politik bermuatan tuntutan komitmen dan keseriusan” yang secara khusus ditujukan kepada para pemimpin dunia, agar tidak melakukan basa-basi politik seperti yang sedang berlangsung saat ini.

Dalam konteks ini, pemerintah Indonesia seakan mendeklarasikan sekaligus memberi keteladanan kepada para pemimpin dunia, soal keseriusan berkomitmen merealisasikan statemen politik yang sudah dibungkus menjadi dokumen konvensi internasional.

Meskipun, dokumen konvensi tersebut secara politik tidak bersifat mandatori bagi negara yang setuju dan menandatangani dokumen konvensi, beserta konsekwensi hukum-politik ikutannya.

Bahkan lebih konkritnya, Christiana Figueres sebagai mantan Sekretaris Eksekutif UNFCCC secara tegas menyebut bahwa “kesepakatan internasional tidak akan terjadi sebelum cukup diatur secara domestik oleh Negara-negara peserta”.

Intinya, negara-negara peserta harus benar-benar mewujudkan komitmen untuk meredam dampak perubahan iklim dalam kebijakan nasional terlebih dahulu, baru dapat dibawa ke forum internasional.

Sebagai wujud keseriusan dan keteladanan pemerintah Indonesia, ditunjukkan dengan kebijakan “menuju net zero emission tahun 2050” melalui pemberdayaan masyarakat, penegakkan hukum, berupaya menurunkan laju deforestasi hingga turun terendah dalam 20 tahun terakhir.

“Negara berkembang akan melakukan ambisi serupa jika komitmen negara maju kredibel disertai dukungan riil. Dukungan dan pemenuhan komitmen negara-negara maju sangat diperlukan”

Ketiga, untuk mencapai target Persetujuan Paris dan agenda bersama, kemitraan global harus diperkuat. Kesepahaman dan strategi perlu dibangun di dalam mencapai net zero emission dan menuju UNFCCC COP-26 Glasgow.

Indonesia sendiri sedang mempercepat “pilot percontohan net zero emission” terbesar di dunia dengan membangun Kawasan “Indonesia Green Industrial Park” seluas 12.500 hektare di propinsi Kalimantan Utara.

Tuntutan kompensasi politik Jokowi ini, dilakukan melalui sindiran politisnya “kita harus terus melakukan aksi bersama, kemitraan global yang nyata, dan bukan saling menyalahkan, apalagi menerapkan hambatan perdagangan dengan berdalih isu lingkungan”.

Sindiran politis berikutnya, dikemas dengan narasi yang bisa membuat panas telinga para pemimpin negara industry maju yang cenderung inkonsisten dengan berbagai kesepakatan yang telah disetujui dan ditandatanganinya.

“Kami sedang melakukan rehabilitasi hutan mangrove seluas 620 ribu hektare sampai 2024, terluas di dunia dengan daya serap karbon mencapai empat kali lipat dibanding hutan tropis. Indonesia terbuka bagi investasi dan transfer teknologi, termasuk investasi untuk transisi energi”

Pada dasarnya Perjanjian Paris tahun 2015 merupakan capaian yang bagus, namun dalam perkembangannya tidak berjalan mulus. Sejak dibawah kepemimpinan Donald Trump, Amerika Serikat sudah enggan terlibat dan bergerak mundur dari kesepakatan.

Ada sejumlah negara yang tidak konsisten sehingga merintangi perundingan membahas perubahan iklim untuk tidak membuahkan hasil. Menurut Stefan Rahmstorf, disebabkan kekuatan lobi industri energi fosil untuk menghambat agenda pengendalian perubahan iklim dan beserta proses kebijakan yang mengarah ke hal itu.

Profesor Fisika Lautan di Universitas Potsdam itu juga menyampaikan bahwa ada lima perusahaan minyak raksasa yang menggelontorkan uang USD 200 juta per tahun untuk memperkuat lobbi tersebut.

Mencermati dinamika perundingan para pemimpin negara ini, bisa ditarik kesimpulan bahwa antara tindakan “merawat” dengan “perusakan” lingkungan bumi itu berjalan parallel bagi aktor pelaku mewakili “Pemerintah” maupun “rakyat” berdasarkan teori kausalitas.

“Demikian halnya dengan penanganan lingkungan suatu negara, akan sangat tergantung dengan situasi dan kondisi politik internalnya. Hegemoni kelompok tertentu akan terlihat dominan pengaruh politiknya, tinggal melihat aliran politik yang mana sebagai pemenangnya”

Mental model para aktor pelaku dipengaruhi “standar politis” mereka. Sehingga, di , ada dugaan untuk negara industry maju, relative sulit konsisten karena mental model pemikirannya sudah terbelenggu dengan pesanan yang mewakili kolega-kolega politiknya.

Sama halnya dengan gelaran UNFCCC ini, sejatinya forum konferensi perubahan iklim ini untuk kepentingan siapa? Diduga, media politis ini menjadi sakral bagi negara industri maju semata. Mereka takut tidak lagi mampu mempertahankan stigma yang terlanjur melekat.

Secara psikologi-politis mereka takut karena menyangkut soal “membangun dan menjaga eksistensi politik-ekonomi-budaya” mewakili para elite pemerintah, pengusaha, tokoh informal yang berhubungan dengan kenyamanan dan keamanan komunitas eksklusifnya.

Fenomena politis ini dibuktikan dengan kegagalan pencapaian kesepakatan konferensi UNFCCC COP-25 pada bulan Desember 2019 di Madrid, ketika menanggapi keadaan darurat krisis iklim, karena perbedaan utama antara negara-negara yang terbukti sulit diselesaikan.

Bagi negara yang tidak punya posisi tawar politik, issue krisis perubahan iklim menjadi tidak prioritas dibanding krusialnya masalah dalam negerinya untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya dengan berbagai strategi survivalnya.

Sejatinya “Sang Penguasa Alam” memang memberi manusia rasa takut dengan berbagai latar penyebabnya. Bahkan takutnya “Orang-orang besar” itu relatif beragam dan cukup mengerikan saat mengkritisi soal krisis lingkungan, kehancuran bumi hingga planet sekalipun.

Akan tetapi, rasa takutnya bagi “orang-orang kecil dengan segala keterbatasannya”, cenderung tidak peduli andai bumi ini mau runtuh atau kebakaran sekalipun, tetapi takutnya mereka cuma “soal lapar dan dikejar-kejar hutang”.

Pada akhirnya, mengelola hati dan pikiran serta berbuat baik dan berbagi kepada siapa saja, dalam status dan posisi apapun, dengan meyakini janji beserta skenarioNYA, untuk percaya hanya DIA yang berhak kapan memulai dan mengakhiri keberadaan BUMI ini, memanglah berat.

Salam lestari

Bahan bacaan:

Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here