Saturday, 20 April 2024
HomeBeritaAkrab, Surat Menyurat Dua Tokoh Muda NU-Muhammadiyah

Akrab, Surat Menyurat Dua Tokoh Muda NU-Muhammadiyah

Bogordaily.net – Berbeda organisasi dan juga pemahaman merupakan suatu hal biasa bagi -tokoh umat Islam pada masa lalu.

Berbeda organisasi dan juga pemahaman merupakan suatu hal biasa bagi tokoh-tokoh umat Islam pada masa lalu.

Berdebat terbuka atau polemik di surat kabar mereka lakukan tanpa mengurangi kehangatan saat bertemu di satu kesempatan. Ada yang lebih tinggi dari organisasi yaitu ukhuwah islamiyah.

Ada kisah saling menghormati antara tokoh dan , yaitu antara KH Idham Chalid (pernah Ketum PBNU) dan Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang dikenal Buya Hamka.

Konon kedua tokoh itu pernah berjemaah shalat Subuh. Kiai Idham menjadi imam. Meskipun ia orang , memilih tidak membaca kunut karena jamaah di belakangnya ada Buya Hamka.

Sebaliknya ketika Buya Hamka menjadi imam shalat Subuh, ia justru membaca kunut.

Jauh sebelumnya, di tahun 1940, saat menjadi pengarang Pedoman Islam di Medan, Buya Hamka mengapresiasi pandangan Ketua Umum Hoopdbestuur Nahdlatoel Oelama KH Mahfudz Shiddiq tentang ijtihad dan taqlid.

Apresiasi itu disampaikannya dalam bentuk surat. Berikut surat Buya Hamka untuk kyai asal Jember tersebut.

Yang dimuat Berita Nahdlatoel Oelama No 17 tahun 9 edisi 4 Juli 1940 dengan ejaan yang disesuaikan:

YTH K. Mahfudz Shiddiq

Assalamau'alaikum wr.wb. Karangan kiai yang akhir, ijtihad dan taqlid sudah saya terima dan saya baca isinya dengan teliti. Setelah saya baca dan banding, dalam garis besarnya, boleh dikatakan bersamaan paham kita dalam hal ini.

Karena menyatakan paham sebagai paham kiai inilah, maka saya mendapatkan pukulan dari kiri dan kanan sehingga dituduh tidak “kaum ” lagi.

Moga-moga karangan kiai ini tersiarlah sebanyak-banyaknya dalam kalangan umat kita sehingga tidak terdapat lagi ifrath demikian juga tafrith di dalam memahamkan agama.

Kalau tidak ada halangan insya Allah akan saya bicarakan (resensi) di dalam Pedoman Islam. Sambutlah salam saya.

Wassalam H. Abdulmalik K.A. Pengarang Pedoman Islam di Medan

Sebagai catatan, pada masa-masa itu, umat Islam diramaiakan dengan perdebatan furu'iyah berikut ijtihaddan taqlid.

Hal itu merupakan gelombang yang terjadi di Timur Tengah kemudian di-copy paste di Hindia Belanda.

Mereka kemudian mengarahkan sasarannya kepada tradisi umat Islam Nusantara yang telah berkembang berabad-abad.

Istilah bidah, kolot, tradisional, tua pun mulai dilekatkan untuk membedakan dengan mereka yang mengklaim murni, baru, modern, dan .

Jargon mereka, kembali ke Alquran dan hadis.Sasaran itu tiada lain diarahkan kepada sebab dengan tegas di AD/ART menyebutkan sebagai kalangan yang bermazhab bepegang kepada salah satu dari empat mazhab.

Tentu saja ulama-ulama mempraktikkan bermazhab itu bukan tanpa dalil dari Alquran dan hadis juga.

Diserang oleh kalangan lain, para kyai mengemukakan argumentasi-argumentasinya.

Salah satunya dalam majalah Berita Nahdlatoel Oelama KH. Mahfudz Shiddiq, yang pada masa mudanya pernah nyantri dari Mekkah dan Tebu ireng tampil sebagai pembela bermazhab dengan mengupas ijtihad dan taqild di majalah itu.***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here