Monday, 29 April 2024
HomeOpiniAnalisis Kasus Staycation sebagai Syarat Perpanjangan Kontrak

Analisis Kasus Staycation sebagai Syarat Perpanjangan Kontrak

Bogordaily.net–   Kasus yang terjadi saat ini ialah karyawati yang disyaratkan untuk melakukan sebagai syarat perpanjangan kontrak oleh atasannya berinisial HK.

Sosok karyawati berinisial A tersebut mengungkapkan hal tersebut setelah ia melapor kepada Polres Bekasi karena kontraknya tidak diperpanjang karena ia menolak ajakan seorang atasannya tersebut.

Setelah ditelusuri public berpendapat bahwa ajakan sebagai syarat perpanjangan kontrak telah menjadi rahasia umum di suatu perusahaan, hal tersebut dimanfaatkan oleh atasan yang memiliki jabatan yang berpengaruh bagi tenaga kerja di dalam suatu perusahaan.

Atas kasus tersebut, penulis melakukan analisis yuridis atas suatu peristiwa hukum yang terjadi. Dalam kasus tersebut dapat diperhatikan ke dalam dua subjek hukum yaitu HK dan korporasi tempat ia bekerja. Merujuk kepada kasus yang terjadi di daerah , pelaku secara langsung telah menyalahgunakan wewenang yang dimilikinya dalam perusahaan untuk menggerakkan korban dengan penyesatan agar korban mau melakukan perbuatan cabul dengan dirinya.

R.Soesilo berpendapat dalam bukunya KUHP serta komentarnya perbuatan cabul ialah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin. Negara Indonesia telah memiliki peraturan dalam hal tindak pidana kekerasan seksual melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Pelaku telah melanggar ketentuan Pasal 6 huruf c UU No. 12 Tahun 2022, yang menjelaskan seseorang yang menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, hubungan keadaan atau dengan penyesatan menggerakkan seseorang untuk melakukan perbuatan cabul dengan dirinya atau dengan orang lain, maka dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

Namun, dalam kasus tersebut muncul pertanyaan-pertanyaan mengenai apakah korporasi tempat pelaku bekerja tersebut dapat dipidana atau tidak ? untuk menjawab pertanyaan yang muncul tersebut, Penulis menganalisis bahwa korporasi tempat pelaku dan korban bekerja merupakan badan hukum.

Badan hukum merupakan subjek hukum setelah manusia, artinya korporasi tersebut pun dapat dipidana apabila melanggar ketentuan pasal yang berkaitan dengan kasus ini. Setelah menggaris bawahi bahwa sebagai syarat perpanjangan kontrak kerja sudah menjadi rahasia umum di kalangan tenaga kerja, maka dapat dipungkiri bahwa ajakan oleh atasan kepada karyawati sudah berlangsung lebih dari satu kali.

Tidak adanya tindakan tegas dari perusahaan tersebut terhadap pelaku maka perusahaan tersebut dapat dipidana sesuai dengan ketentuan pidana korporasi dalam undang-undang yang mengatur tentang korporasi. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya tindakan tegas dari korporasi, maka korporasi secara tidak langsung telah membiarkan terjadinya tindak pidana atau korporasi tidak melakukan langkah pencegahan terhadap suatu tindak pidana.

Hal ini selaras dengan Pasal 4 ayat (2) huruf b dan c Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi, yang menjelaskan bahwa hakim dapat menilai kesalahan korporasi berdasarkan korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana atau korporasi tidak melakukan langkah pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar, dan memastikan kepatuhan terhadap suatu ketentuan hukum yang berlaku untuk menghindari terjadinya tindak pidana.

Dalam Perma Nomor 13 Tahun 2016 tersebut di dalam Pasal 25, korporasi dapat dijatuhi pidana pokok dan/atau pidana tambahan. Pidana pokok yang dijatuhkan kepada Korporasi ialah pidana denda dan pidana tambahan disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pidana tambahan yang dimaksud disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan, maka disesuaikan dengan UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual terhadap penjatuhan pidana tambahan kepada berdasarkan Pasal 18 ayat (4) UU No. 12 Tahun 2022 pidana tambahan berupa: perampasan keuntungan dan/atau hata kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana kekerasan seksual, pencabutan izin tertentu, pengumuman putusan pengadilan, pelarangan permanen melakukan perbuatan tertentu, pembekuan seluruh atau sebagian kegiatan korporasi, penutupan seluruh atau Sebagian tempat usaha korporasi dan/atau pembubaran korporasi.

Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berdasarkan Pasal 18 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2022 maka korporasi di pidana dengan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Setelah pidana pokok dan tambahan yang dijatuhi kepada korporasi, restitusi pun dijatuhi kepada korporasi berdasarkan besaran restitusi tersebut ditentukan oleh penetapan Hakim.

Atas penjelasan di atas tersebut, maka penulis dapat menarik kesimpulan atas kasus yang terjadi dimana sebagai syarat perpanjangan kontrak kerja yang terjadi di perusahaan oleh pelaku kepada korban berinisial A.

Pelaku dapat dipidana dengan ketentuan pasal 6 huruf c yang terkandung di dalam UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual karena telah menyalahgunakan wewenang, kedudukan, hubungan keadaan, atau dengan penyesatan menggerakkan korban untuk mau melakukan perbuatan cabul dengan dirinya, dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

Dalam hal pertanggungjawaban pidana korporasi tempat pelaku dan korban bekerja maka sesuai dengan Pasal 4 ayat (2) huruf b dan c Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi, yang di dalam muatannya bahwa Hakim dapat menilai kesalahan korporasi apabila korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana atau tidak melakukan pencegahan terhadap suatu tindak pidana.

Berdasarkan Pasal 18 UU No. 12 Tahun 2022 sanksi yang dijatuhi kepada korporasi hanya sebatas pidana pokok yaitu pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah) dan pidana tambahan berupa sanksi administrasi. Pidana tambahan sebagaimana dimaksud disesuaikan dengan Pasal 18 ayat (4) UU No. 12 Tahun 2022 yang mengatur pidana tambahan bagi korporasi.

Setelah korporasi dijatuhi pidana pokok dan pidana tambahan dalam kasus kekerasan seksual hakim dapat menentukan besarnya restitusi yang harus diberikan oleh terdakwa kepada korban dan besarnya ditetapkan oleh hakim.***

Penulis: Sadam Alamsyah, Ulfah Nurfadilah, Taqwa Hartawan (Universitas Pakuan Fakultas Hukum Prodi Ilmu Hukum)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here