Monday, 29 April 2024
HomePolitikKepala Daerah Belum Berusia 40 Tahun Bisa Jadi Capres dan Cawapres, Ini...

Kepala Daerah Belum Berusia 40 Tahun Bisa Jadi Capres dan Cawapres, Ini Kata Almisbat

Bogordaily.net– atau Aliansi Masyarakat Sipil untuk Indonesia Hebat kembali menyoroti Pilpres 2024 mendatang. Kali ini terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal kepala daerah berpeluang menjadi capres dan cawapres meski belum berusia 40 tahun.

Seperti diketahui nama putra Presiden Joko Widodo (Jokowi),yang digadang-gadang bakal menjadi cawapres. Meski usainya belum 40 tahun, tetapi Gibran berpeluang terlibat dalam kontestasi pilpres karena menjabat sebagai kepala daerah.

“Keputusan MK yang membolehkan seseorang yang berumur kurang dari 40 tahun asal mempunyai pengalaman sebagai kepala daerah, untuk menjadi capres atau cawapres, merupakan keputusan yang mengabaikan persoalan etis dalam kompetisi politik,” tulis dalam keterangan tertulisnya.

Keputusan MK menurut memberi jalan bagi Gibran untuk dapat ikut dalam kontestasi Pilpres 2024 saat Jokowi masih menjabat sebagai presiden.

“Kondisi ini akan menimbulkan konflik kepentingan dan konflik etika, yang mengarah pada pelanggaran hukum,” imbuh organisasi relawan pendukung Jokowi tersebut.

Keputusan itu menurut terjadi karena MK telah menutup mata atas kondisi yang terjadi saat ini dan melihat konstitusi sebagai sebuah prinsip, aturan, dan nilai-nilai dasar ketatanegaraan, secara kaku.

 

Anggota Dewan Pertimbangan Nasional (DPN) Teddy Wibisana mencontohkan, soal pembatasan usia capres/cawapres di UU Pemilu bisa dianggap sebagai bentuk ketidak-adilan dalam demokrasi (terutama bagi kaum muda).

Anggapan itu menurut Teddy bisa benar jika praktik demokrasi telah berjalan sempurna, baik prosedur maupun substansinya.

“Kenyataannya politik dan demokrasi saat ini diwarnai oleh praktek nepotisme para oligarki, sehingga tanpa batas usia para oligark akan lebih cepat masuk dalam puncak kekuasaan politik,” ujar Teddy.

Perjuangan Reformasi

Ia menilai keberhasilan para oligarki ini sudah mempengaruhi prilaku masyarakat dan menjadi role model bagi mereka.

“Termasuk Pak Jokowi pun mungkin sudah terpanguruh ingin menjadi oligarki baru,” ujarnya.

Sementara itu Sekjen Piryadi melihat keputusan MK itu dari sisi amanat reformasi. Ia mengingatkan, demokrasi dan kebebasan yang saat ini dinikmati adalah buah dari perjuangan reformasi.

“Keputusan hakim MK ini justru bertentangan dengan semangat reformasi 1998 yang menentang segala bentuk kolusi, korupsi dan nepotisme. Demokrasi itu bukan hanya persoalan prosedur tetapi harus di bangun dengan nilai etis dalam pengelolaan negara,” jelas Piryadi.

Dengan adanya keputusan MK ini, ia berharap semua komponen bangsa dapat berpijak pada akal sehat, dan berani untuk mengoreksi berbagai penyimpangan.

Baginya, solusi terbaik untuk mengatasi dampak dari keputusan MK, adalah dengan mendukung figur alternatif yang kompeten, memiliki landasan etik, dan dekat dengan masyarakat

“Kita harus mendukung dan dapat memenangkan capres dan cawapres yang memiliki kriteria tersebut,” pungkasnya.(Gibran)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here