BOGOR DAILY – Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengancam akan memecat kepala daerah yang melanggar protokol kesehatan COVID-19.
Hal itu dituangkan dalam Instruksi Mendagri No 6/2020 tentang Penegakan Protokol Kesehatan untuk Pengendalian Penyebaran COVID-19.
Melalui instruksi tersebut, pemerintah memerintahkan kepala daerah agar secara konsisten menegakkan protokol kesehatan di daerah masing-masing.
Jika melanggar maka akan diberi sanksi. Mulai dari teguran, pengurangan hak keuangan hingga pencopotan dari jabatan.
“Kepala daerah harus menjadi teladan masyarakat dalam mematuhi protokol kesehatan Covid-19. Termasuk tidak ikut dalam kerumunan yang berpotensi melanggar protokol kesehatan,” bunyi instruksi Mendagri tersebut.
Menanggapi hal ini, Guru Besar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan, instruksi Menteri Tito tidak bisa menjadi dasar hukum pemberhentian kepala daerah.
Dilansir dari Anadolu Agency, Jumat (20/11/2020), Yusril mengatakan bahwa Instruksi Presiden, Instruksi Menteri dan sejenisnya hanyalah perintah tertulis pada jajaran di bawahnya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
“Bahwa dalam Instruksi Mendagri No 6/2020 itu ada ancaman kepada kepala daerah, hal itu bisa saja terjadi,” ujar Yusril.
Menurut Yusril, presiden tidak berwenang mengambil inisiatif memberhentikan kepala daerah, begitu juga Menteri dalam negeri.
“Jika kepala daerah tidak melaksanakan protocol kesehatan, maka proses pemakzulan harus melalui DPRD,” ujar dia.
Masih dari sumber yang sama, Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan, pemberhentian kepala daerah tidak bisa dilakukan secara sepihak oleh pemerintah pusat.
Menurut dia, pemberhentian kepala daerah karena melanggar undang-undang tersebut membutuhkan proses yang cukup panjang karena melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Mahkamah Agung.
“Prosesnya panjang bisa dari hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat. Formatnya adalah Sidang Paripurna DPRD lalu baru kemudian diajukan ke MA,” ujar dia.
“Baru setelah ada putusan MA, presiden dapat memberhentikan kepala daerah di bawahnya,” ujarnya.
“Syarat-syarat proses pemberhentian kepala daerah sudah diatur dalam UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah,” tambah dia.
Dia menilai instruksi tersebut sangat politis dan ditujukan hanya kepada salah satu kepala daerah.
“Mendagri sendiri tidak mematuhi protokol kesehatan yang ada di dalam UU No 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Dia ikut berperan dalam Pilkada serentak di tengah pandemi,” kata dia.
Dia memastikan instruksi menteri dalam negeri tersebut tidak bermakna apapun.
“Jadi instruksi itu kesannya saja gahar tapi tidak punya nilai,” pungkas dia. (*)