Tuesday, 26 November 2024
HomeNasionalSejarah Suriname Jadi Pusat Orang Jawa di Amerika Selatan

Sejarah Suriname Jadi Pusat Orang Jawa di Amerika Selatan

Bogordaily.net – Suriname, bagian dari Amerika Selatan ramai lagi diperbincangkan publik, setelah kehebohan kontes kecantikan dengan nama Putri Jawa Suriname 2022 dan hanya diperuntukkan untuk perempuan Jawa.

Bagaimana sejarahnya orang Jawa dari Indonesia mendominasi Suriname?

Apalagi secara geografis letak Suriname dan pulau Jawa sangat jauh. Dikutip suara.com dari Inside Indonesia, semua itu bermula pada zaman penghapusan perbudakan dan pentingnya sistem perkebunan di koloni ini.

Kisahnya berawal pada tahun 1863, pemerintah Belanda membebaskan lebih dari 33 ribu budak di Suriname. Setelah penghapusan ini, pihak berwenang mengikuti koloni Karibia lainnya dengan mengimpor pekerja kontrak dari British India untuk memasok perkebunan dengan tenaga kerja yang murah dan patuh.

Kontrak lima tahun tersebut merinci hak dan kewajiban para pemegang kontrak. Yang sangat penting bagi sistem kerja kontrak adalah apa yang disebut sanksi pidana. Kontrak itu memberi majikan hak untuk mengajukan tuntutan pidana terhadap pekerja kontrak yang melanggar kontrak kerja mereka.

Antara tahun 1873 dan 1916 lebih dari 34 ribu orang Indian Britania datang ke Suriname. Namun, muncul keraguan tentang sumber kerja kontrak ini. Masalah utamanya adalah para imigran India Britania tetap menjadi warga negara asing, dan oleh karena itu sebagian besar penduduk Suriname akan segera menjadi orang Inggris.

Selain itu, subjek ini dapat mengajukan banding terhadap keputusan otoritas tertinggi Belanda dan meminta bantuan konsul Inggris, yang tidak akan meningkatkan kepatuhan angkatan kerja. Kekhawatiran tambahan adalah ketergantungan pada negara asing untuk tenaga kerja dan gerakan nasionalis yang berkembang di India, yang dengan keras menyerang sistem migrasi kontrak. Memang, di India sistem itu dihapuskan pada tahun 1916.

Namun gerakan merekrut orang Jawa mulai menguat pada tahun 1880-an karena perubahan iklim politik di India. Keuntungan lain adalah bahwa Belanda sendiri akan mengendalikan proses rekrutmen dan imigrasi dan tidak harus bersaing dengan negara-negara rekrutmen lainnya, seperti yang terjadi di India.

Tradisi budaya Jawa terbukti kuat, meski perubahan dan adaptasi di Suriname, misalnya dalam bahasa, tak terelakkan.

Menteri Kolonial Belanda keberatan dengan emigrasi dari Jawa hingga akhir tahun 1887 dengan alasan bahwa penduduk Jawa tidak cenderung untuk bermigrasi ke Suriname yang jauh dan tidak dikenal.

Setelah lobi-lobi kuat dari perkebunan dan pejabat Suriname, pemerintah akhirnya memutuskan untuk mengizinkan percobaan pertama dengan seratus migran kontrak Jawa pada tahun 1890. Meskipun ada keraguan tentang kekuatan fisik para pekerja baru, migrasi orang Jawa ke Suriname sekarang diizinkan.

Secara total, hampir 33 ribu orang Jawa bermigrasi ke Suriname pada periode 1890-1939. Jawa Tengah dan daerah dekat Batavia (Jakarta), Surabaya dan Semarang merupakan daerah rekrutmen utama.

Hanya 20 hingga 25 persen migran Jawa yang kembali ke negara asalnya sebelum Perang Dunia II. Sebagian besar imigran menetap secara permanen di Suriname.

Para migran ditugaskan ke perkebunan. Menurut kontrak, perkebunan harus menyediakan perumahan gratis bagi para pekerja kontraknya. Namun, kualitas perumahan seringkali di bawah standar. Pejabat Hindia Timur Belanda H. van Vleuten, yang mengunjungi Suriname pada tahun 1909 untuk menyelidiki kondisi hidup dan kerja orang Jawa, melaporkan bahwa kehidupan rumah tangga para imigran Jawa tampak baginya sebagai ‘agak menyedihkan’.

Sebagian besar kamar ‘memberi kesan kemiskinan yang parah dari penghuninya.’ Kontrak kerja menetapkan upah pria dan wanita, namun sebagian besar pekerja kontrak menunjukkan bahwa mereka tidak mendapatkan upah yang tercantum. Van Vleuten menyimpulkan bahwa ‘upah rata-rata yang diperoleh buruh kontrak jauh di bawah upah minimum’. Dia berpendapat bahwa penghasilannya terlalu rendah untuk mencari nafkah di koloni semahal Suriname.

Selain masalah materi ini, orang Jawa juga harus menghadapi penyesuaian diri dengan kehidupan baru, pola makan, dan pola kerja di lingkungan yang seringkali tidak bersahabat. Tidak mengherankan, kerinduan melanda banyak migran. Keinginan untuk kembali ke Jawa merupakan bentuk pelarian. Pelarian ini dan teknik lainnya, seperti penyakit pura-pura, berfungsi sebagai bentuk protes tersembunyi terhadap sistem perjanjian. ***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here