Bogordaily.net – Pemilik Tiga Dewa Adventure sedang ramai dibicarakan.
Bukan karena prestasi ekspedisi yang luar biasa. Tapi karena urusan yang tidak ada hubungannya dengan ketinggian: booking lahan camp.
Entah siapa yang memulai, tapi kini di Gunung Merbabu dan Sindoro, banyak pendaki yang kehabisan tempat untuk mendirikan tenda.
Padahal sudah sampai lebih awal. Tapi, ternyata semua lahan sudah “dibooking.”
Seolah-olah gunung sudah berubah fungsi: dari tempat berbagi langit, jadi lapangan privat milik trip organizer.
Lalu muncullah video viral dari akun TikTok @siputgunung.id. Di situ terekam ekspresi jengkel para pendaki yang merasa kalah cepat, bukan karena telat mendaki, tapi karena tak punya privilege “rombongan booking.”
Dan seperti petir di jalur pendakian, nama Tiga Dewa Adventure pun disebut-sebut. Mereka diduga jadi salah satu pelaku utama booking lahan. Warganet marah.
Komentar membanjiri akun @tiga_dewa_opentrip. “Gunung bukan tempat resepsi!” tulis salah satu komentar yang mewakili kekesalan massal.
Di sinilah pertanyaan penting muncul: siapa pemilik Tiga Dewa Adventure?
Jawabannya: Muhammad Rifqi Maulana. Ia bukan pendaki biasa. Ia adalah lulusan Magister Ilmu Lingkungan dari Universitas Diponegoro.
Ia mendirikan Tiga Dewa Adventure sejak 2008 di Semarang. Ia aktif di media sosial: Instagram @rifkymaulanaaaa, TikTok dengan nama yang sama, dan akun Facebook atas nama lengkapnya.
Komunitasnya, yang mengusung slogan “You’ll Never Hike Alone”, sudah lama dikenal sebagai penyelenggara open trip ke gunung-gunung favorit seperti Semeru, Raung, dan tentu saja Merbabu.
Tapi kini, nama besar itu sedang diuji: bukan oleh jalur terjal, tapi oleh etika.
Pemilik Tiga Dewa Adventure belum memberikan klarifikasi resmi. Tapi gelombang kritik sudah telanjur naik.
Apalagi saat Kepala Sub Bagian Tata Usaha Balai Taman Nasional Gunung Merbabu, Nurpana Sulaksono, menegaskan bahwa tidak ada sistem booking lahan camp. Prinsipnya sederhana: siapa cepat, dia dapat.
“Di Merbabu tidak ada istilah booking camp,” katanya. “Area camp terbuka untuk semua pendaki.”
Dan ketika Fiersa Besari ikut bicara, isu ini kian menjadi perbincangan nasional.
“Yang nggak wajar itu kalau ngusir pendaki lain. Apalagi mereka datang lebih dulu,” kata Fiersa dalam video yang juga viral.
Ia menyebut tindakan semacam ini sebagai ancaman terhadap solidaritas pendaki dan keselamatan bersama di gunung.
Fiersa menyarankan open trip membuat panduan etik dan menyatakan sikap. Jangan hanya diam. Jangan hanya menunggu netizen lelah marah.
Kini, yang dibutuhkan adalah klarifikasi jujur, bukan pengalihan isu. Karena sesungguhnya, mendaki gunung bukan sekadar naik-turun.
Tapi tentang bagaimana kita berbagi ruang dan waktu dengan sesama pendaki. Dan pemilik Tiga Dewa Adventure mesti sadar, ia sedang diuji bukan di ketinggian, tapi di ruang moral publik.***