Bogordaily.net – Kasus mogok sekolah siswa SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten, kini berbuntut panjang dan memicu perdebatan nasional. Aksi solidaritas ratusan pelajar yang menolak keputusan kepala sekolah justru berubah menjadi kontroversi setelah kabar beredar bahwa sejumlah HRD perusahaan mulai mencatat jejak digital para siswa yang ikut aksi tersebut.
Awalnya, mogok sekolah ini dilakukan untuk membela seorang teman yang dihukum karena ketahuan merokok di lingkungan sekolah.
Namun, niat solidaritas itu dianggap sebagian pihak sebagai bentuk pembelaan terhadap pelanggaran disiplin, bukan perjuangan terhadap ketidakadilan.
Di media sosial, muncul unggahan dari beberapa akun yang mengaku memiliki kenalan HRD profesional.
Mereka menyebut, kasus ini akan dijadikan bahan pertimbangan dalam proses rekrutmen di masa depan.
Bahkan, ada seruan ekstrem agar lulusan SMAN 1 Cimarga angkatan 2026–2028 tidak diterima magang atau bekerja di sejumlah perusahaan.
“Beberapa HRD kenalan juga mulai nyimpen jejak digital kasus ini sebagai bahan pertimbangan kalau anak-anak itu nanti ngelamar kerja,” tulis salah satu akun X (Twitter) yang viral dan menuai ribuan komentar.
Kasus ini menimbulkan dua kubu besar di dunia maya. Di satu sisi, banyak warganet yang mendukung langkah tegas tersebut.
Mereka menilai, aksi mogok sekolah demi membela pelanggaran aturan menunjukkan rendahnya rasa tanggung jawab dan kedisiplinan.
Dalam pandangan mereka, dunia kerja membutuhkan individu yang patuh terhadap aturan, bukan yang ikut-ikutan protes tanpa dasar kuat.
Namun, di sisi lain, banyak pula yang menolak generalisasi. Mereka menilai langkah untuk “mencatat” atau bahkan “mem-blacklist” seluruh siswa satu angkatan adalah tindakan tidak adil.
Tidak semua siswa terlibat aktif dalam aksi mogok, dan menyamaratakan semuanya dianggap bisa merusak masa depan pelajar yang tidak bersalah.
“Kalau pun ada yang salah, masa satu sekolah ikut kena? Itu bukan solusi, tapi bentuk overreaksi,” tulis salah satu komentar warganet.***