BOGORDAILY – Sejumlah negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Kamboja, Malaysia, dan Indonesia telah dituduh memanfaatkan isu pandemi COVID-19 untuk mengekang kebebasan berbicara.
Awal bulan Juni lalu, Komisioner HAM PBB, Michelle Bachelet memperingatkan adanya usaha untuk mengekang kebebasan berpendapat di negara-negara Asia Pasifik di tengah pandemi.
Michelle mengatakan sedikitnya 12 negara Asia melakukan penahanan terhadap warga yang menyampaikan ketidakpuasan terhadap pemerintah dengan tuduhan menyebarkan informasi palsu lewat media sosial.
Unggahan ‘fake news’ jadi perkara di Indonesia
Di Indonesia, Komisioner HAM PBB mengatakan setidaknya ada 51 orang yang dilaporkan sedang dalam penyelidikan dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Beberapa diantaranya diketahui telah menyebarkan “fake news” di saat Indonesia sedang memerangi virus corona.
Namun Kepolisian RI (Polri) mengatakan penangkapan tersebut sebagai upaya penegakan hukum bagi mereka yang memanfaatkan isu COVID-19.
“Sudah 51 kasus dan 51 tersangka,” kata Kapolri Jenderal Idham Azis dalam rapat dengan Komisi III DPR RI secara virtual yang disiarkan di Facebook DPR, akhir Maret lalu.
Dalam pernyataannya, Komisioner HAM PBB juga mencontohkan penangkapan tiga pria setelah mereka mengunggah sebuah pesan di sosial media.
Unggahan tersebut menyebutkan kasus penularan virus corona di kawasan Jakarta Utara terjadi setelah pemerintah menyemprotkan cairan disinfektan.
Selain itu ada pula sejumlah laporan dimana polisi telah memblokir sejumlah akun sosial media dan hal ini telah dibenarkan oleh Kapolri.
“Dari tanggal 2-27 Maret telah melakukan penyelidikan terhadap 153 informasi, memblokir 38 akun,” ujar Idham.
Di Indonesia, menyebarkan ‘fake news’ memang bisa diperkarakan ke jalur hukum karena menyebabkan kepanikan masyarakat.
“Penyebaran isu-isu atau informasi yang tidak sesuai dengan fakta di lapangan dan ini mengakibatkan kepanikan di masyarakat,” ujar Kepala Bareskrim Komisaris Jenderal Listiyo Sigit P saat melakukan keterangan pers awal Maret lalu.
Di Jawa Timur, seorang ibu rumah tangga asal Wonokusumo, Surabaya pernah berurusan dengan polisi karena dianggap menyebarkan “kabar bohong” terkait virus corona, seperti yang dilaporkan CNN Indonesia.
Hanya saja tindakan mengatur “fake news” seperti ini malah membuat kekhawatiran Komisioner HAM PBB, yang menilai dijadikan kesempatan juga memberangus kebebasan berbicara, termasuk mengkritik kebijakan pemerintah dan kebebasan berekspresi.
Kelompok HAM di Malaysia menuduh pemerintahan Perdana Menteri Muhyiddin Yassin melakukan penindasan setelah kekisruhan politik di negara tersebut belakangan ini.
“Ada kekacauan politik yang menciptakan pemerintahan ini,” kata Phil Robertson dari Human Rights Watch kepada ABC.
“Dan pemerintahan ini mengakui bahwa warga Malaysia menderita karena pandemi COVID-19 dan dampak ekonomi karenanya.
“Sayangnya, pemerintah mencoba mencari musuh dari luar demi menyatukan para pengikutnya.”
ABC berusaha menghubungi pihak pemerintah Malaysia lewat email dan telepon namun sejauh ini tidak berhasil.
*Berita ini telah diperbaharui 17 Juli 2020, pukul 23:00 Waktu Australia Timur dengan tambahan pernyataan Komisioner HAM PBB soal Indonesia.
Artikel ini telah disadur dari laporannya dalam bahasa Inggris yang bisa dibaca di sini.