Friday, 26 April 2024
HomeNasionalBela Umat dan Ulama

Bela Umat dan Ulama

Setahun lalu 14 Februari 2016, pertama kali saya bertemu dan bersilaturahmi dengan Abuya Muhtadi. Pertemuan terjadi di kampus Untirta Serang, Banten.

Abuya Muhtadi merupakan seorang ulama yang sangat dihormati di Banten. Tutur katanya lembut, berbicara dengan wajah teduh dan juga menimbulkan respek lawan bicara.

Pertemuan tersebut membahas keprihatinan ulama-ulama di Serang, Banten atas nasib warga Kecamatan Baros, Kecamatan Cadasari, dan Kecamatan Cidahu Kabupaten Pandeglang yang tanahnya mengalami kesulitan air bersih.

Ini karena sumber mata air Gunung Karang yang menjadi sumber air warga di tiga kecamatan untuk sumber air pertanian seluas 150 ha dan juga air bersih warga, telah ditimbun PT Tirta Fresindo Jaya (Group Mayora).

Sumber air tersebut terdiri dari 8 sumber mata air yang berada di atas lahan 20 hektar yang dibeli oleh pihak perusahaan dari masyarakat.

Paradigma kapitalis adalah paradigma untung semata dan melipat gandakan modal. Bagaimana tidak, air yang adalah hak publik (res comune, milik publik) sebagaimana keputusan mahkamah, semena-mena ditutup dengan cara ditimbun tanah, dan akan diekploitasi menjadi produk minum kemasan. Sementara masyarakat tidak mendapat air untuk irigasi dan air bersih.

Masyarakat di tiga kecamatan dimana di sekitar sumber air tersebut banyak berdiri pesantren-pesantren, akhirnya mengadukan nasib mereka pada Abuya Muhtadi dan juga Kiai Matin Syarkowi. Keduanya merupakan pimpinan Pondok Pesantren Al Fathaniyah Serang. Kedua ulama inilah yang menghubungi kami untuk memberikan bantuan hukum dan advokasi pada masyarakat.

Abuya Muhtadi dan para ulama dan santri melakukan perjuangan secara persuasif selama 2 tahun, mengadukan nasib pada umaro (pimpinan pemerintah, kepolisian, dan pimpinan DPRD) juga melakukan Istighosah.

Dari usaha-usaha itu, kemudian Bupati Serang Ratu Tatu Chosiyah menolak memberikan izin IMB dan lain-lain pada pihak perusahaan (dimana sebagian tanah yang dibeli seluas 8 hektar berada di wilayah Kabupaten Serang).

Bahkan sang bupati memerintahkan pembongkaran kembali mata air yang ditimbun. Jika pihak perusahaan membangkang, maka akan dilaporkan atas perusakan lingkungan.

DPRD Provinsi Banten juga memberikan rekomendasi pada Pemprov Banten agar tidak menerbitkan izin eksploitasi air karena berdasarkan UU Tata Ruang Wilayah tersebut, daerah disana merupakan resapan air terlarang untuk industri.

Akan tetapi dikotomi terjadi pada Pemkab Pandeglang yang justru menerbitkan perizinan IMB untuk membangun pabrik air kemasan. Inilah yang memicu masalah.

Setelah tiga tahun berlaku persuasif dan sekali terjadi gesekan perobohan pagar, akhirnya kekecewaan masyarakat memuncak. Itu setelah kedatangan masyarakat untuk bertemu Bupati Pandeglang tidak diladeni, bahkan justru ada dugaan bupati meninggalkan kantor ketika masyatakat datang.

Pada 6 Februari 2017, timbul sebuah ekses yakni pembakaran backhoe perusahan, perobohan gerbang dan perusakan kantor. Tiga warga pun ditangkap dan terjerat pidana perusakan dan puluhan lainnya diperiksa.

Pendampingan dan pembelaan satu tahun ternyata belum berakhir, dan sekarang tiga warga harus diadvokasi. Tak hanya itu, ratusan warga juga perlu diberi dampingan agar mereka tidak terjerat pidana. Mereka terdiri dari santri dan ulama juga warga umumnya.

Tugas advokasi masih panjang. Mental, tenaga, pikiran harus dipersiapkan untuk proses panjang membela umat dan ulama.

Sementara di Jakarta juga riuh rendah isu bela Islam, bela agama dan bela ulama. Akan tetapi bagi saya terlihat karakteristik yang berbeda dalam isu bela ulama di Serang dengan bela ulama di Jakarta.

Di Banten, pembelaan atas umat dan ulama nyata menyentuh persoalan kelangsungan hidup mereka atas rusaknya sumber daya air dan lingkungan.

Sementara di Jakarta, bela agama dan ulama terkait politik dan kekuasaan. Dalam kasus di Banten ini, ulama-ulama berjuang untuk melindungi lingkungan hidup dan umat agar dapat bertani.
Sementara di Jakarta, ulama dan umat digiring pada isu agama untuk kepentingan politik.

Melihat dua fenomena yang berbeda ini, pernyataan Gus Dur telah menguatkan saya untuk setia berada disisi ulama dan umat di Banten.

Gus Dur menyatakan: “Tuhan tidak perlu dibela, karena Tuhan sudah Maha Segalanya. Belalah mereka yang diperlakukan tidak adil dan tertindas,” kata Gus Dur.

Semoga polisi dapat memahami bahwa ekses pidana yang terjadi adalah karena abainya Bupati Pandeglang yang melabrak aturan dan tidak peka terhadap penderitaan masyarakatnya.

Semoga polisi profesional dan proporsional

Salam

Sugeng Teguh Santoso, SH
(Sekjen DPN Perhimpunan Advokat Indonesia dan Pendiri Yayasan Satu Keadilan)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here