BOGORDAILY – DARA takut janin di rahimnya menjadi aib keluarga. Ia bersama sang pacar pun akhirnya sepakat untuk menggugurkan sang janin dengan cara pintas. Hampir setiap hari ia menggali info untuk meniadakan sang bayi, sampai akhirnya pilihan tertuju pada obat aborsi yang dijual bebas di pasaran.
“Dulu aku takut ketahuan orang tua, jadi aku gugurin pakai obat keras untuk lambung. Setelah cari-cari, baru dapat info kalau bisa gugurin pakai obat lambung itu,” ungkap Dara yang masih duduk di bangku kelas XII.
Dia mengaku membelinya di sebuah apotek di kawasan Gunungputri. Satu butirnya ia beli seharga Rp50 ribu. “Butuh empat tablet yang harus diminum sampai janinnya keluar,” tutur dia.
Janin yang ada tak lantas keluar. Dara mengaku harus menunggu waktu sekitar tiga jam sampai perutnya berkontraksi. Meski dihantui rasa bersalah, ia mengaku tak punya pilihan lain. “Setelah tiga jam baru kerasa, lalu setelah itu muncul flek seperti sedang haid. Tiap malam nggak bisa tidur, kepikiran sama si janin,” tutur Dara.
Tak hanya Dara yang melakukan aksi nekat tersebut, sumber Metropolitan pun mengaku pernah mendatangi klinik aborsi di bilangan Kota Bogor. Mulanya, Sri (25) mengaku datang ke seorang dukun beranak untuk mengeluarkan si janin, namun usahanya gagal. Ramuan yang diminumnya tak juga ampuh membuat si janin keluar. Sampai akhirnya ia mendatangi klinik aborsi. “Sekali aborsi saya bayar Rp5juta. Waktu itu usia kandungannya sudah empat bulan,” bebernya.
Berdasarkan data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), terjadi 1,5- 2 juta kasus aborsi. Dari hasil survei, 30 persen kasus kematian ibu disebabkan karena aborsi.
Informasi yang dihimpun, di wilayah Bogor jumlah kematian ibu yang tercatat Dinas Kesehatan (Dinkes) sebanyak 90 kasus pada 2015. Di antaranya, 69 kasus di Kabupaten Bogor dan 21 kasus di Kota Bogor.
Jika merujuk pada SDKI, maka ada 27 kasus aborsi yang menyebabkan ibu kehilangan nyawanya. Jumlah itu belum ditambah dengan kasus yang terjadi selama 2016 serta kematian ibu yang tidak terdata dinas.
Bila ada penambahan minimal 10 persen dari jumlah kasus aborsi, maka dalam sebulan minimal ada tiga wanita yang meninggal gara-gara aborsi.
Hal ini juga dibenarkan Sekretaris Dinas Kesehatan Jabar, Uus Sukmara. Ia mencatat beberapa penyebab kematian ibu di Jawa Barat, salah satunya karena aborsi “Selain karena perdarahan, hipertensi dalam kehamilan, juga abortus (keguguran),”terangnya
Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bogor Rubaeh, membenarkan jika aborsi menjadi salah satu penyumbang angka kematian ibu. Namun, hingga saat ini belum ada laporan kematian terkait aborsi di Kota Bogor.
“Untuk kasus kematin akibat aborsi angkanya belum ada yang pasti. Di Kota Bogor sendiri tidak ada yang melaporkannya. Saat ini kasus kematian ibu dan anak lebih dominan disebabkan karena pendarahan dan hipertensi dalam kehamilan.” kata Rubaeah kepada Metropolitan, kemarin.
Saat ditanya soal mudahnya mendapatkan obat aborsi di apotek maupun online, dirinya mengaku rutin melakukan monitoring atau pengawasan ke apotek-apotek. Penyuluhan dan pembinaan pun dilakukan bekerjasama dengan Dinas Pendidikan (Disdik) melalui edukasi kepada siswa-siswa lewat sekolah.
“Masalah aborsi biasanya lekat dengan pergaulan bebas. Makanya kami koordinasi dengan Disdik memberikan penyuluhan ke siswa-siswa tingkat SMP dan SMA. Untuk mahasiswanya kami bekerjasama dengan Universitas Pakuan (Unpak), UIKA, dan IPB,” terangnya.
Rubaeah pun mengimbau agar tidak ada masyarakat yang melakukan aborsi. Selain dilarang, praktik pengguguran dapat menyebabkan kematian karena seringkali dilakukan tidak sesuai prosedur.
“Kalau sudah terlambat menstruasi lebih baik segera datang ke sarana kesehatan terdekat untuk mengetahui penyebabnya, apakah karena hamil atau ada hal lain. Jangan melakukan aborsi,” pesan Rubaeah.
Terpisah, Ketua Komisi D DPRD Kota Bogor Dodi Setiawan mengaku prihatin dengan pergaulan saat ini. Menurutnya, perlu ada pengawasan yang lebih ekstra jika obat menggurkan janin memang mudah didapatkan siapapun. Sebab, secara tidak langsung, kondisi tersebut ikut menjaga keberlangsungan praktik pengguguran selama ini.
“Orang tua menjadi benteng pertama dalam pengawasan anak. Pemerintah melalui Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan pun harus terus melakukan edukasi kepada remaja terkait efek buruk pergaulan bebas, termasuk aborsi,” ujar Dodi.
Anggota Komisi D DPRD Kota Bogor lainnya pun angkat bicara. Ahmad Romdhoni dengan tegas mengutruk praktik aborsi ilegal yang masih saja terjadi. Musababnya, praktik pengguguran jelas dilarang agama karena menghilangkan nyawa sang bayi dan mengancam nyawa sang ibu.
“Apalagi pelaku aborsinya akibat pergaulan bebas atau hamil di luar nikah, dosenya dobel. Pelaku aborsi ilegal dan yang membantu prosesnya harus diproses secara hukum,” tegas Romdhon.
(bdn/mtro)