Tuesday, 7 May 2024
HomeKabupaten BogorWALHI: Muara Bencana dan Konflik Itu Adalah Kebijakan Pemerintah!

WALHI: Muara Bencana dan Konflik Itu Adalah Kebijakan Pemerintah!

Bogordaily.net – Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup () Jawa Barat, Wahyudin Iwang, pun merunut penyebab utama kerusakan lingkungan yang berdampak terhadap alam marak terjadi dan nyaris merata di setiap daerah.

Dikatakannya, kerusakan lingkungan, alam, maupun tren konflik yang terjadi tak lepas dari kebijakan-kebijakan yang dilahirkan pemerintah khususnya Undang-Undang Omnibus Law atau Cipta Kerja.

“Muara dari , kerusakan lingkungan, konflik, itu akibat dari kebijakan,” ucapnya, Senin malam 23 Oktober 2023.

Iwang menyebutkan beberapa kebijakan pemerintah yang menjadi penyebabnya. Antara lain, UU No. 03 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara (Minerba), Perpu No. 02 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law), Perpres No. 87 Tahun 2021 tentang Percepatan Pengembangan Kawasan REBANA dan Jawa Barat Bagian Selatan, Perpes No. 45 Tahun 2018 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung, Perpres 79 dan 80 Tahun 2019, PP No. 05 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berbasis Risiko yang mengaplikasikan sistem digital atau Online Single Submission (OSS), dan terakhir Perpres No. 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN).

“Kebijakan-kebijakan tersebut lahir tidak melewati mekanisme partisipasi masyarakat, tidak membuka ruang dialog publik atau uji publik. Kalau pun mengatasnamakan kepentingan rakyat, rakyat yang mana,” tanya Iwang.

Dipaparkannya, UU Cipta Kerja sejak awal dikritisi masyarakat karena bersifat multifungsi. Sehingga, urusan kebijakan dan perizinan diborong dalam UU ini yang berakibat tidak mempertimbangkan kepentingan rakyat dan lingkungan.

“Tapi hanya memberikan karpet merah terhadap perusahaan atau dunia usaha untuk melenggangkan kegiatan atau bisnisnya. Dengan adanya UU Cipta Kerja ini, ruang partisipasi dan pengawasan yang bisa dilakukan masyarakat hilang. Efek domino yang kemudian timbul, pada praktiknya segala perizinan kini bisa diurus secara online melalui OSS. Sehingga wajar jika saat ini tren konflik begitu tinggi,” ungkapnya.

Menurut Iwang, sistem OSS dan Omnibus Law itu bukan berarti menghilangkan hak demokrasi.

Di mana masyarakat perlu tahu, perlu terlibat, dalam proses perencanaan maupun proses penyusunan perizinannya secara komprehensif. Ada uji publik, ada dialog publik, sosialisasi secara transparan.

Legitimasi Kepentingan Investasi

Baca juga : Zodiak Cinta Hari Ini Rabu, 25 Oktober 2023: Gemini Ada Orang Ketiga, Cancer Ikuti Kata Hati

Dampak turunan lain dari UU Omnibus Law maupun Proyek Strategis Nasional (PSN) adalah perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di setiap kota/kabupaten yang akan segera berubah menjadi Rencana Detail Tata Ruang (RDTR).

Saat ini hampir semua Pemda sedang revisi RTRW dan menyusun RDTR yang harus merujuk ke UU Omnibus Law.

pun menduga revisi ini bukan untuk mengamankan, memulihkan, atau melestarikan kawasan, tapi justru melegitimasi bagi perusahaan yang akan melakukan kegiatan dan investasi di kawasan itu.

“Legitimasi itu terbukti ketika kami menemukan banyak fakta khususnya di Jawa Barat banyak kawasan yang sudah berubah zona atau beralih fungsi. Pada akhirnya RTRW atau RDTR itu berubah mengikuti kepentingan mengakomodir kebutuhan ekonomi bisnis sesuai Perpres percepatan ekonomi dan PSN. Jadi kerusakan lingkungan yang menyebabkan terjadinya alam bahkan konflik akibat dari intervensi visi atau arah kebijakan,” bebernya.

Iwang pun mempersoalkan jika kebijakan-kebijakan dan perizinan yang diberikan didasarkan pada alasan peningkatan pendapatan negara atau Pendapatan Asli Daerah (PAD).

“Nyatanya hasilnya jika dikonversi tak sebanding dengan nilai kerusakan lingkungan dan alam yang terjadi. Kami saat ini sedang menyasar berapa kerugian negara akibat kebijakan pemerintah yang dilahirkan. Tapi memang saya akui sulit, karena pembuat kebijakannya melibatkan banyak orang,” akunya.

Kerusakan Bentang Alam Jawa Barat

mengemukakan pula bahwa saat ini Jawa Barat dalam kondisi sedang digempur perubahan tata ruang.

Termasuk kawasan alam di Bogor di mana terdapat proyek PSN seperti jalan tol dan waduk yang terkesan dipaksakan.

“Perubahan tata ruang akibat proyek PSN dan perizinan-perizinan yang dikeluarkan pemerintah berpengaruh terhadap bentang alam. Perubahan fungsi kawasan atau penyusutan tutupan lahan oleh jenis-jenis wisata alam, bisnis-bisnis properti seperti hotel, vila, resort, dan sejenisnya mempengaruhi bentang alam kawasan, perubahan iklim, dan deforestasi,” jelas Iwang.

Lebih spesifik, kerusakan bentang alam juga terjadi di kawasan Puncak yang masuk wilayah Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur.

Puncak yang semula menjadi daerah tangkapan air dan konservasi kini telah berubah fungsi menjadi kawasan wisata.

“Menjamurnya wisata alam, hotel, resort, vila akibat dari kemudahan perizinan mempengaruhi kondisi ekologis Puncak. Akibatnya tidak aneh ketika beberapa tahun lalu terjadi fenomena gempa bumi di Puncak,” katanya.

Iwang mengakui pihaknya belum menghitung jumlah izin yang menjamur untuk wisata maupun untuk pertambangan khususnya di kawasan Puncak.

“Tapi kalau bicara soal bagaimana situasi Puncak saat ini, sudah sangat prihatin karena intervensi kerusakannya itu semakin tinggi daripada laju pemulihan yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah daerah maupun juga pemerintah pusat,” jelasnya.

berharap pemerintah pusat maupun daerah lebih tegas terhadap bangunan-bangunan liar di kawasan resapan air tersebut.

Baca juga : Setelah 6 Tahun, Jeon So Min Tinggalkan Running Man

“Penertiban seharusnya dilakukan secara berkala dan tidak gimik, tidak pencitraan. Harus tegas, ditertibkan, dan dikembalikan fungsinya.

Kalaupun ada izin yang membolehkan untuk membangun wisata di wilayah Puncak harus mempertimbangkan daya dukung daya tampung kawasan Puncak, ada upaya reforestasi mengembalikan atau menghutankan kembali kawasan tersebut sebagai paku bumi untuk kawasan Cianjur Sukabumi dan Bogor,” tandasnya.

HGU

Korelasi yang tak kalah penting dalam kebijakan dan perizinan yang dikeluarkan adalah menyangkut Hak Guna Usaha (HGU).

Sebab, kondisi lahan-lahan HGU di Jawa Barat sudah mulai rusak akibat dampak bisnis dan investasi.

“Seharusnya mekanismenya ketika (HGU) habis, maka pengelolaan kawasan itu kembali dulu ke negara. Baru negara itu memproyeksikan apakah perlu diperpanjang kembali atau misal dipulihkan kawasannya mengingat bahwa kawasan kawasan kritis di Jawa barat itu begitu tinggi. Atau, memang diberikan hak pengelolaannya kepada masyarakat, bukan diberikan atau dialihfungsikan untuk bisnis kepada perusahaan swasta untuk izin wisata, tambang dan lainnya,” beber dia.

menegaskan agar pemerintah mengevaluasi eks HGU yang saat ini diindikasikan sebanyak 70 persen diberikan kepada swasta.

“Seharusnya menjadi pertimbangan pemerintah bagaimana kawasan-kawasan HGU yang izin-izinnya habis diberikan hak pengelolaannya kepada rakyat, untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh masyarakat untuk kesejahteraan rakyat. Bukan dibisniskan, diprivatisasi, dengan mengeluarkan izin-izin baru kepada swasta di sektor wisata alam atau tambang,” tegasnya.(Acep Mulyana)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here